Handsome Widower

Maria
Chapter #12

12

Keadaan rumah Ganendra pagi ini kelihatan suram. Suara riuh yang biasa terdengar dari celotehan nyaring si sulung mendadak hilang.

Wajahnya yang tersimpan dilipatan tangan nampak terlihat kesal. Bibir yang biasa menampilkan senyuman lucu kini mengerucut maju. Bola mata yang biasa berbinar terang, kini sudah memerah.

Nasi goreng sosis kesukaan bahkan nggak Abigail gubris keberadaannya. Padahal sejak tadi, uap panas yang membawa aroma gurih itu sudah menggelitik hidung hingga membuat cacing diperut berteriak demo minta diisi.

Tapi si sulung seolah abai. Bocah itu memilih merajuk sampai keinginannya dituruti oleh Ganendra.

Yang lebih tua menghela. Melihat sudah hampir sepuluh menit anak sulungnya menekuk wajah tanpa menyentuh sarapannya sama sekali.

"Abang...ayo dong dimakan itu sarapannya. Ayah udah buat capek-capek loh." bujuk Ganendra pelan.

Tangannya sesekali bergerak untuk menyuap nasi tim ke dalam mulut Abela. Berbeda dengan sang kakak, yang lebih kecil terlihat antusias dengan makanannya.

"Abang mau makan kalo Abang boleh ikut sekolah lagi sama Tante cantik." jawab Abigail tanpa mengubah mimik wajahnya.

Kembali helaan nafas terhembus. Terhitung sudah dua hari ini Abigail selalu meminta hal yang sama. Namun selama empat hari ini pula Ganendra membohongi Abigail dengan alasan yang sama.

Sebenarnya juga bukan mau Ganendra. Tapi gimana lagi? Duda beranak dua itu masih terbayang dengan penilaian Binar akan dirinya tempo hari.

Ganendra nggak punya pilihan lain selain membatasi temu antara sang anak dan perempuan pujaan hatinya. Ganendra masih belum sanggup kalau harus kembali bertatap muka.

"Ayah kan udah bilang sama Abang...Tante cantik lagi sibuk."

"Bohong!" pekik Abigail. Matanya sudah semakin memerah. "Ayah pasti bohong!"

"Nggak loh Bang...Ayah nggak bohong.."

"Kalo nggak bohong, biarin Abang ikut Tante cantik sekolah hari ini."

Jemari buntet milik Abigail bergerak mengelap bulir air mata yang tiba-tiba menetes di pipi. Matanya yang memerah mengiba dengan kerjapan sendu.

Ganendra bergeming. Dalam hati berusaha sekuat mungkin untuk nggak luluh dengan tatapan anak sulungnya.

"Nggak Bang...Tante Binarnya sibuk." ucap Ganendra lugas.

Kali ini Abigail memilih abai. Bocah itu mengikuti insting untuk kembali meminta setelah dua hari mengalah.

"Ayah? Please..." mata itu mengerjap kembali. Kedua telapak tangannya bahkan sudah saling menangkup di depan dada.

Oh Tuhan.

Abigail yang mengiba adalah salah satu kelemahan Ganendra. Apapun yang si sulung minta, pasti akan ia turuti. Sekali pun menggadaikan harga dirinya sendiri.

Tapi untuk kali ini nggak. Ganendra harus kuat! Nggak boleh lem---

"Ayah..."

---damn!

Ganendra menyerah. Pada kahirnya ia tetap luluh juga. "Oke.."

"Yes!"

Katakanlah Ganendra bodoh karena lemah pada tipudaya anak sendiri. Tapi ya, bagaimana lagi?

🌷

"Teh? Dipanggil Umi suruh sarapan."

"Sebentar No...Teteh lagi siap-siap."

"Yaudah jangan lama-lama Teh...yang lain udah pada ngumpul! A' Biyu juga udah dateng."

"Iya, lima menit lagi Teteh turun." ujar Binar dari dalam kamar.

Tanpa membalas, Aeno kemudian berlalu menuju ruang makan dimana semua keluarganya telah berkumpul. 

Ini adalah hari keempat Aeno menjadi bangkai yang menghabiskan nasi alias pengangguran yang menumpang hidup pada Pak Juna.

Bukan tanpa alasan sebenarnya Aeno berlaku demikian. Ketimbang pulang dan merana sendirian, lebih baik di sini. Seenggaknya masih ada Bu Airin ataupun Pak Juna yang menemani.

"Mana Teteh mu, Le? Kok belum keliatan?" Pak Juna yang selalu kelihatan ganteng bertanya pada si bontot.

Wajah Pak Juna pagi ini glowing maksimal. Cerah merona kayak habis pakai Fairly and Lolly.

"Masih siap-siap, bentar lagi katanya turun," 

"Oh gitu...yaudah dimulai makannya. Si Teteh gampang suruh nyusul."

Bu Airin memberi perintah yang langsung dijawab anggukan oleh yang lain. Sebagai istri sholeha, otomatis Bu Airin mengambilkan makan untuk Pak Juna terlebih dahulu, baru setelahnya beralih pada piring Aeno dan Biyu untuk diisi nasi. 

Ketika hendak mengambilkan lauk untuk si bontot, tiba-tiba bel rumah Bu Airin yang lain daripada yang lain berbunyi nyaring. 

Keempat orang itu beradu tatap seolah saling berkomunikasi satu sama lain hanya lewat lirikan mata. 

"Biar Umi yang bukain...kalian makan aja duluan." 

Bu Airin berbaik hati dengan mengajukan diri sebagai pembuka pintu. Entah deh, mood Bu Airin hari ini lebih cerah dari mentari pagi di luaran sana.

Bu Airin akhir-akhir ini memang sedikit aneh. Dua hari yang lalu beliau sering kali tantrum karena nggak ketemu dua anak Ganendra. Sedangkan hari ini, Bu Airin nampak sumringah.

Mereka jadi bertanya-tanya, apa hormon manepouse memang seperti ini?

Baru saja Bu Airin ingin beranjak dari ruang makan, langkahnya terhenti ketika melihat Binar sudah berdiri dianak tangga terakhir. 

"Makan sana Neng...udah Umi ambilin nasinya."

"Loh, Umi kok nggak makan juga? Mau kemana?" tanya Binar ketika melihat bu Airin berjalan melewatinya.

"Ada tamu kayaknya...Umi mau liat dulu."

"Oh oke."

Binar hendak melangkah menuju ruang makan. Tapi dilangkah kedua, kakinya terhenti. Sepertinya ia ingat akan sesuatu.

"Umi! Biar Neng aja yang buka. Siapa tau itu ojek online yang nganterin paketan kak Tari."

"Eh? Kenapa Neng?" ulang Bu Airin.

"Biar Neng aja yang buka. Siapa tau itu ojek online yang nganterin paketan kak Tari. Soalnya tadi Masnya nelfon kalo udah mau nyampe."

"Oh gitu...yaudah. Abis itu langsung sarapan ya Neng."

Bu Airin berbalik menuju ruang makan sementara Binar melenggang menuju ruang tamu ketika suara bel berbunyi sekali lagi.

"Maaf ya Mas lama, udah d--" 

Ucapan Binar terjeda ketika melihat sosok di depan pintu bukanlah abang ojek online yang ditugaskan kak Tari untuk mengantar paket. 

"Assalamualaikum, Mba Binar.." sapa abang bukan ojek online ramah.

Karena masih shock, Binar nggak langsung menjawab salam tersebut. Butuh waktu mungkin sekitar satu menit sampai salamnya terbalas.

"Wa'alaikumsalam, Mas.." balas Binar nggak kalah ramah. 

Abang bukan ojek online a.ka Ganendra menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan sembari beristighfar dalam hati.

Melihat pujaan hatinya membalas salam dengan ramah sambil tersenyum itu rasanya!^"*÷₩#,"*(+£@€+₩×($&#¥+. Susah dijelaskan pakai kata-kata. 

Dewa batinnya bahkan sudah menggelosor dengan air mata bahagia yang meluruh.

Sedangkan Ganendra sendiri ingin menjerit dan menceritakan pada dunia kalau ia bahagia. Tapi niatan itu urung ia lakukan karena Ganendra tahu, segala sesuatu yang berlebihan nggak akan disukai oleh Tuhan.

Buktinyakan sudah ada. Saking pedenya Ganendra beberapa hari yang lalu, perempuan mungil pujaan hatinya itu sampai ilfeel. Ganendra jelas nggak mau kejadian yang sama terulang lagi. Cukup sekali, jangan sampai dua kali. 

Lagi pula Ganendra sudah bertekat untuk merubah haluannya. Bukan lagi merayu dan mendekati calon tambatan hati secara terang-terangan, tapi merayu sang pemilik hati lewat doa di sepertiga malam. Tenang, Ganendra main aman sekarang.

"Maaf Mba...kalo ganggu waktunya pagi-pagi." Ganendra basa-basi.

Sebenarnya nggak perlu basa-basi juga Ganendra sudah tahu kalau kedatangannya pagi-pagi begini pasti menggangu. Tapi kedatangan Ganendra juga terpaksa, jadi ya mau bagaimana? 

"Nggak apa-apa." balas Binar santai tapi terkesan sedikit jutek.

Sebenarnya sih, Binar itu nggak benci sama Ganendra. Cuma Binar itu nggak suka sama sifat Ganendra yang kelewat pede kemarin pagi sampai akhirnya Binar ilfeel sendiri.

Ya gimana nggak ilfeel kalo tiba-tiba Ganendra bilang kalau dirinya nggak kalah imut dari Abela. Terus, dilain kesempatan laki-laki itu juga membanggakan dirinya yang sudah sukses diusia muda.

Memang sih semua itu karena Bu Airin yang bertanya, tapi ya emang Ganendra nggak bisa low profile sedikit gitu? 

Kan kalau kayak gini kesannya Ganendra sombong. Padahal harusnya Ganendra tahu, di atas langit masih ada langit.

Sedangkan Pak Juna saja yang hartanya nggak habis-habis untuk tujuh turunan, delapan tanjakan, sembilan pengkolan, dan sepuluh perempatan saja nggak pernah sesumbar. 

Yang ada malah jadi bahan julitan netizen karena tajir melintir tapi kerjaannya cuma ongkang-ongkang kaki sambil main burung perkutut.

"Jadi, ada perlu apa, Mas?" 

Binar buka pertanyaan karena sedari tadi Ganendra cuma diam tanpa menjelaskan maksud dan tujuannya datang kemari.

"Ah, i-itu...ekhm!" Ganendra berdeham sebentar. Mendadak tenggorokannya kering. Ditatap sama pujaan hati seintens ini, benar-benar masalah. 

Jantung Ganendra jadi nggak sehat karena terlalu cepat degupnya. Sakit, tapi Ganendra suka sensasinya. Nah, aneh kan? 

"Kenapa?" tanya Binar lagi.

Ganendra mengulas senyum kaku. "Saya tau ini kurang ajar dan terkesan nggak sopan. Tapi...apa hari ini Abigail bisa ikut Mba Binar ke sekolah?"

"Sebenarnya saya udah ngelarang karena takut ganggu Mba Binar kerja...eh tapi anaknya malah mundung."

Lihat selengkapnya