Aeno menatap langit-langit kamar Binar dengan pandangan menerawang. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu saat dirinya berbincang dengan Abigail.
Dirinya masih ingat bagaimana bibir mungil Abigail berucap tentang doa yang ia sebutkan untuk sepupunya.
"Abang berdoa, semoga Tante cantik tetap sehat biar bisa main sama Abang. Terus, semoga Abang punya bunda kayak Tante cantik,"
Dalam doa yang Abigail sebutkan, dalam senyun yang Abigail sematkan, terselip rasa iba yang timbul dalam diri Aeno.
Bagaimana tidak?
Aeno tau, pasti berat menjalani hidup tanpa mendapat kasih sayang orangtua secara utuh. Apalagi diusia Abigail yang masih kecil. Meski Sehun yakin, ayah si bocah bogel selalu memberi yang terbaik.
Tapi, namanya anak, pasti butuh figur seorang ibu kan? Aeno yang hidup lengkap dengan kedua orangtua pun masih merasa kurang mendapatkan kasih sayang karena kedua orangtuanya sibuk bekerja.
Maka dari itu, Aeno selalu mencari kasih sayang dari saudaranya yang lain. Dan beruntung, mereka memberikan apa yang Aeno mau tanpa pernah bertanya kenapa terlebih dahulu.
Sementara Abigail?
Hah~
Bocah itu hanya pasrah dengan semesta yang seolah mengajaknya bercanda sedari usia muda. Jikalau itu Aeno, mungkin ia sudah menangis meraung-raung tujuh hari tujuh malam hingga air matanya berubah menjadi genangan darah.
Aeno itu nggak sekuat itu kalau kalian mau tahu. Tinggal di rumah sendirian saja Aeno nggak berani, apalagi ditinggal orang terkasih selama-lamanya? Bisa jatuh pingsang berhari-hari mungkin dirinya.
"Hah~ semoga doa mu diijabah Allah ya Bi." ujar Aeno sebelum terlelap dalam tidur siangnya.
🌷
"Yura, tolong jaga Abel bentar dong! Ada yang mau Mama selesaiin dulu bentar!"
Teriakan Bu Sherin menggema di rumah tua keluarga Ganendra. Yura yang kebetulan sedang mendapatkan libur beranjak dari kamar dan menghampiri sang ibu.
"Kenapa Ma?" tanya Yura tepat ketika dirinya sudah berada di ruang keluarga tempat Bu Sherin berada.
Bu Sherin sedikit meringis. "Tolong jaga Abel bentar dong. Ada hal mendesak yang harus segera Mama selesaiin ini."
"Eh?" Yura mengerjap. "Mama kenapa? Ada klien di butik yang mau ketemu?"
"Nggak."
"Lah terus?"
"Mama mau pup." kata Bu Sherin garang.
Nggak tahu apa si Yura kalau ini sudah masuk pembukaan lengkap? Beri saja sedikit tekanan maka...hah~ bisa hancur dunia persilatan kalau sampai emas batangan Bu Sherin tercecer di sini.
"Udah ini dijaga Abelnya. Mama udah nggak tahan." kata Bu Sherin sebelum berlari kencang menuju kamar mandi.
Yura yang melihat tingkah absurd sang Ibu tergelak pelan. Nggak hapis pikir dirinya kenapa bisa menjadi bagian dari keluarga nyeleneh begini.
Baik Papanya, Mamanya, adik dan keponakannya. Semua nggak ada yang normal. Mereka punya dunia 'gila'nya masing-masing. Kadang Yura berfikir, mungkin dia ini anak pungut? Karena yah...Yura merasa hanya dirinya yang normal disini.
Sepuluh menit berselang, Bu Sherin keluar dengan wajah lega. Perjuangannya untuk mengeluarkan butiran-butiran emas berjalan lancar dan tanpa hambatan.
"Udah Ma?" tanya Yura yang kini sedang menepuk-nepuk bokong Abela.
Anak gadis Ganendra itu sudah menunjukkan gelagat untuk pindah ke alam mimpi. Perlu sedikit tepukan ringan ditambah sumpalan susu botol, bisa dipastikan Abela akan terlelap dengan segera. Nampaknya Abela akan memasuki waktu tidur siangnya yang kedua.
"Udah...ya ampun lega rasanya." Bu Sherin menjawab sambil menepuk perutnya yang rata.
Yura memutar bola matanya malas. "Lebay deh Ma."
"Yeeee...seriusan itu." ujar Bu Sherin.
Tak lama Bu Sherin ikut bergabung dengan Yura di sofa. Anak gadisnya masih asik menepuk-nepuk bokong sintal Abela. Sedangkan yang ditepuk, sudah memasuki dunia mimpi dengan cepat.
"Tidur dari tadi apa barusan ini si adek?"
"Barusan."
"Nggak dipindahin aja ke kamar? Kasian kalo tidurnya gitu?"
"Nanti ah, belum nyenyak anaknya. Takut nanti bangun."
"Yaudah kalo gitu," kata Bu Sherin pelan.
"Si Abang kok nggak dititipin ke sini? Kemana dia?" tanya Yura.
Bu Sherin yang hendak mengambil remote TV mendadak menghentikan langkah. "Mungkin sekolah."
Bola mata Yura melebar. "Sekolah? Seriusan?"
Bu Sherin mengangguk sembari tangan mengecili suara televisi dari remote. "Iya...rupanya kemarin waktu mereka berdua nggak dititipin di sini itu, mereka sekolah..."
"...kata Nendra, Bu RT tempatnya tinggal itu punya sekolah TK gitu. Jadi Abigail dibawa kesana."
"Mereka nggak nakal?"
"Nggak."
"Waw." Yura terperangah.
Bu Sherin juga menunjukkan hal yang sama. "Kagetkan?" Yura mengangguk. "Mama denger dari Nendra juga aja sama kagetnya."
"Mungkin gurunya baik kali Ma...jadi mereka, khususnya si Abang nggak nakal." Yura menimpali tanpa menghentikan tepukannya.
Bu Sherin mengangguk, lalu berujar "bisa jadi," dengan lirih.
Setelahnya yang ada hanya kesunyian. Yura masih sibuk menepuk bokong Abela tanpa melepas pandangan dari televisi.
Sedangkan Bu Sherin dalam diam memperhatikan Abela yang tertidur dipelukan Yura. Jauh dilubuk hatinya, tersimpan sebuah pilu yang teramat.
Bohong kalau Bu Sherin nggak mengharapkan seorang menantu baru. Terlebih memang bukan hanya Ganendra yang butuh sosok seorang istri. Tapi kedua anaknya pun butuh sosok seorang ibu.