Masih dengan Jogja dan segala kearifan lokalnya yang membuat siapa saja jatuh cinta dan rasanya ingin tetap tinggal.
Kalau kata Andra dan Tulang belakang, Jogja itu, sempura. Tapi kalau bagi Mikaila, Jogja itu nggak ubahnya tempat patah hati paling besar yang pernah ia alami.
Meratapi kegalauan yang baru berjalan beberapa hari, Mikaila memutuskan untuk menenangkan diri sejenak.
Bukan dengan bertapa di goa Pindul, melainkan berjalan di jalanan Malioboro sambil mendengarkan musis jalanan yang mulai beraksi.
Di pinggiran jalan ditemani temaramnya lampu gantung, Mikaila menghela. Memejamkan mata sejenak sambil mendengarkan lagu campur sari yang digubah dalam versi koplo.
Saat sedang mendengarkan lagu dengan seksama, sebuah tepukan mendarat dipundak tegapnya.
Puk.
Mikaila diam nggak langsung membuka mata. Takut sekali si hitam manis ini. Kalau diberita-berita menjelang lebaran kan, biasanya banyak orang yang terhipnotis atau kena gendam hanya karena tepukan pelan di pundak dan tatapan mata si penepuk.
Haduh...Mikaila mati gaya.
Dalam otaknya yang sebesar biji kemiri itu sudah berlalu lalang fikiran negatif. Bagaimana kalau si pelaku penepukan ini berniat menghipnotis hanya untuk menculiknya lalu mengambil organ dalamnya untuk dijual di pasar gelap?
Duh, Mikaila makin parno kan. Emang penculiknya nggak tau apa, kalau Mikaila itu pahit. Apa juga yang mau diambil dari dirinya? Nggak ada.
Jantung, walaupun masih berdegup rasanya seperti tak ada kehidupan. Kosong, sebab pemberi degup sudah pergi entah kemana.
Hati? Apa lagi.
Sudah hilang bersamaan dengan Jejen yang juga ikut pergi.
Ginjal? Aduh jangan...nanti jatuhnya jadi ganjil. Nggak enak. Mikaila udah jomblo, ginjalnya jangan ikutan. Cukup yang punya aja, organnya jangan.
Karena saking takutnya, Mikaila tetap merapatkan matanya meski tepukan di pundak sudah ia dapatkan beberapa kali.
Hingga setelahnya..
Tak!
Bukan lagi tepukan dipundak yang Mikaila dapat melainkan pukulan kuat pada bagian kepala. Nah, kalau ini bukan lagi mau menghipnotis tapi ngajak gelud alias ribut!
Merasa nggak terima, Jongin berbalik untuk memberi pelajaran. Sekalinya berbalik, Jongin malah dikejutkan dengan sosok di hadapan.
"Abi?"
"Nah! Sadar juga kamu Le!"
"Abi? Ini beneran abi?"
Mikaila masih bertanya perihal keberadaan Pak Juna yang muncul tiba-tiba di Jogja. Lebih tepatnya muncul tiba-tiba di belakangnya.
Sudah seperti Jelangkung saja. Yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Pak Juna dan kekuatannya, benar-benar menyeramkan.
"Ya iyalah ini Abi. Memang kamu pikir siapa?"
"Agung Super Senior." jawab Mikaila polos.
Ya gimana dong Mikail nggak mikir kalau Pak Juna itu Agung Super Senior. Abisnya dandanannya oke banget. Beda dari biasa-biasanya.
"Abi tau Abi ganteng, tapi nggak usah gitu juga lah. Frontal banget sampe bilang Abi tuh mirip Agung Super Senior."
"Emang Abi tau, Agung Super Senior siapa?" tanya Mikaila.
Pak Juna lantas saja menggeleng. "Ya nggak lah...emang siapa? Orang terkaya di negara bagian mana? Lebih kaya dia, apa kaya Abi?"
Pertanyaan Pak Juna mendulang helaan nafas dari Mikaila. Ternyata benar ini adalah Pak Juna, bukan replikanya. Karena cuma Pak Juna yang jiwa songongnya sebesar ini.
"Lebih kaya Abi." Mikaila menjawab yakin. "Kan, harta Abi nggak bakalan abis sampe tujuh turunan, depalan tanjakan, embilanb pengkolan, sepuluh perempatan."
"Salah." tolak Pak Juna santai sembari menggoyangkan jari telunjukknya di depan wajah Mikaila.
Si hitam manis mengernyit. Kenapa bisa salah? Kan biasanya emang gitu.
"Salah? Kok bisa salah Bi?"
"Ya barusan soalnya proyek kilang miyak Abi yang di Dubai menang tender. Jadi otomatis kekayaan Abi di Bank Swiss bakal bertambah. Jadi nggak cuma sampe perempatan. Pertigaan sama tikungan juga masuk."
Mikaila mengelus dada. Ya salaaaam...
Nggak habis pikir mikaila tuh sama hartanya Pak Juna yang nggak berkurang. Apa Pak Juna miara tuyul atau ikut pesugihan Ratu Pantai Barat Daya kah? Tajir melintir tapi kerjanya cuma main burung perkutu. Wajar kalau jadi bahan julitan dan gibahan tetangga.
"Terus sekarang Abi kenapa bisa di sini? Kok bisa tau Mika lagi disini juga?" tanya Mikaila pada Pak Juna yang telah duduk di sebalahnya dengan posisi kaki yang saling bertumpu.
"Apa guna anak buah banyak kalo nyari manusia pesek kayak kamu aja Abi nggak bisa."
Songooong.
Untung statusnya Pak Juna ini masih keluarga. Kalo teman sebaya, udah pasti Mikaila jadiin Pak Juna salah satu patung di candi Prambanan biar lengkap 1000!
"Terus kenapa Abi bisa di sini? Pertanyaan Mika yang ini belum dijawab loh."
Pak Juna menghela. Matanya manatap langit berbintang dengan sedikit sendu. "Cari angin doang."
Mikaila bedecak. "Cari angin sampe ke Jogja. Buang-buang bensin pesawat."
"Pesawat nggak pake bensin Le, norak." Pak Juna memandang datar pada keponakan hitamnya.
Mikaila terkekeh pelan. "Hehehe...ya kan becanda sih, serius amat Abi mah."
"Cerewet ah." balas Pak Juna dan lantas bangun dari duduknya.
Pergerakan Pak Juna barusan, jelas mengundang tanya dari yang lebih muda . "Mau kemana, Bi?" tanyanya.
Pak Juna menoleh. "Makan, mau ikut nggak?"
Mikaila terdiam. Matanya bergerak gusar. Aslinya Maikail itu lapar. Tapi rasa malas untuk makan terlalu besar. Ditambah lagi beberapa hari setelah putus dari Jena, Mikaila kehilangan nafsu makannya.
"Malah ngelamun! Mau makan nggak?" tanya Pak Juna lahi.
Mikalia terdiam. "Eumm..."
"Nggak usah alay cuma karena putus cinta. Perempuan selain Jejen masih banyak. Kalo kamu galau terus nggak makan cuma karena putus dari Jejen, itu malu-maluin.." jeda Pak Juna sebentar.
"..lagian, kalo udah putus cinta itu lebih enak makan nasi daripada cuma makan ati sama makan angin. Kenyang nggak, masuk angin iya. Bahagia nggak, baper iya. Jadi mending ikut Abi aja makan. Siapa tau nanti ketemu jodoh yang lain."
"Kalo nggak ketemu jodoh yang lain, gimana?"
"Nanti Abi cariin."
"Yang modelan Teteh tapi ya?"
Pak Juna melirik Jongin yang kini sudah berdiri dan ikut berjalan di sebalahnya. "Kebagusan buat kamu, udah yang mirip Nini Peri aja."
"Ih jahatnya sama anak sendiri!" pekik Mikaila kesal dan membuat sudut bibir Pak Juna terangkat ke atas.
Setelah dipikir-pikir, ada untungnya juga ia ke Jogja. Setidaknya rasa kesal ketika di rumah perlahan luntur karena menggoda Mikaila; keponakan hitam manisnya.
"Tapi Bi...pertanyaan Mika belum juga Abi jawab loh."
"Pertanyaan yang mana?"
"Kenapa Abi bisa ke Jogja. Apa ada kerjaan?"
"Nggak ada."
"Terus?" cecar Mikaila.
Pak Juna mendengus terlebih dahulu, kemudian menatal Mikaila dengan mata yang memicing.
"KEPO!"
🌷
"Abi lagi di Jogja kayaknya."
Aeno yang sedang menikmati potongan buah sebagai pencuci mulut membuka obrolan. Derihan yang duduk di sebalahnya ikut menambahkan.
"Iya...Mas liat postingan di instagram punya Abi." Derihan menjawab singkat.
Bu Airin yang sedari tadi melihat acara Kurma di televisi pun ikut masuk dalam obrolan.
"Telpon Mas, terus suruh pulang."
"Kenapa nggak Umi aja yang nyuruh pulang?" tanya Aeno bingung.
Bu Airin yang masih fokus dengan tontonan menjawab pertanyaan Aeno. "Nanti kalo Umi nelfon Abi, yang ada Abi makin besar kepala."