Baru lima menit yang lalu nyawa Ganendra beralih pada dunia mimpi. Tapi sekarang mata besarnya terpaksa harus termbuka lagi karena ponsel yang diletakkan di nakas samping ranjang rumah sakit bergetar.
Ganendra menghela. Meregangkan sedikit tubuhnya yang kaku sebelum mengambil ponsel canggih berplitur hitam metalik keluaran terbaru tersebut.
Dengan sebelah mata yang masih terpejam, dan sebelahnya lagi terbuka setengah, Ganendra melirik pada layar berkedip yang menampilkan nama si penelfon.
"Soon To Be Wife 💜"
Melihat cetakan nama si penelfon dilayar ponsel, mata besar Ganendra yang semula tertutup sebelah, kini terbuka dua-duanya. Mulutnya bahkan ikutan menganga di belakang dekapan telapak tangan.
"MasyaAllah..." Dewa batinnya berujar histeris.
Hanya sekedar membaca namanya tertera di layar ponsel saja, kesadaran Ganendra yang tadinya tinggal 5% berubah menjadi 612%. Belum lagi jantung Ganendra sudah seperti bedug yang ditabuh waktu malam takbiran. Berisik bukan main.
Ganendra menghela nafas untuk menetralkan sejenak debaran jantung yang menggila. Setelah dirasa cukup, Ganendra menggeser icon terima sehingga panggilan dari si 'Soon To Be Wife💜' nya, terhubung.
"Asslamu'alaikum." sapanya pelan.
Ganendra terpaksa berujar lirih sebab di ranjang masih ada Abigail yang tertidur dengan punggung tangan tertusuk jarum infus.
Sementara Bu Sherin tertidur di sofa ditemani dengan FTV 'Cinta Ku Mentok di Kandang Ayam' yang berputar dilayar televisi.
"Wa'alaikumsalam, Mas Ganendra?" balas Soon To Be Wife 💜, a.ka Binar dengan ramah.
Ditengah kemelut hati karena melihat si bujang terbaring sakit, terbersit seberkas cahaya terang menelusup dari celah-celah tulang dada.
Sapaan ramah anak perawan Bu Airin tak pelak membuat senyum malu-malu bak anak gadis tersemat diwajah tampan Ganendra .
"Iya Mba, ini saya Ganendra." ucapnya masih dengan gaya malu-malu. "Ada apa ya Mba, kok tiba-tiba nelfon?" lanjutnya lagi.
Di sambungan lain, Binar terlihat stay cool. Seolah tidak terjadi sesuatu yang berarti dengan dirinya. Padahal, dari awal mendial nomor si duda, jantung Binar sudah seperti dibawa nge-Dj.
Nggak karuan degupnya. Bahkan perutnya terasa penuh dan tergelitik. Seperti ada serangan mendadak dari kolonial kupu-kupu.
Hanya karena Biyu mengawasi gerak-geriknya dari arah meja kerja, maka dari itu Binar bertingkah seolah biasa saja.
"Ah itu...eum, saya cuma mau tanya, kenapa hari ini Abigail nggak ikut sekolah. Apa ada sesuatu dengan Abigail? Maksud saya, eum...apa Abigail sakit? Perasaan saya nggak tenang soalnya," ujar Binar tanpa jeda.
Selama bertemu dengan Binar, baru kali ini anak gadis Bu Airin itu berbicara seperti tengah menghitung volume suatu benda. Panjang x lebar x tinggi. Tentu saja hal itu membuat Ganendra senang bukan main.
Meski dalam konten membicarakan si sulung, tapi Ganendra sudah banyak bersyukur. Ada kemajuan dari jerih payahnya beberapa hari ini.
Ganendra mengulas senyum simpul dengan mata yang terarah pada wajah bulat Abigail. "Iya Mba, Abi sakit. Makanya hari ini nggak ikut Mba Binar ke sekolah. Maaf saya nggak ngubungin Mba Binar sebelumnya," cicit Ganendra lirih.
Tak bisa Ganendra pungkiri, meski ada perasaaan bahagia ketika pujaan hati menelfon, rasa sedih juga masih tersimpan disana setiap kali melihat wajah pucat milik Abigail.
"Nggak apa-apa Mas, jangan merasa bersalah. Toh sekarang saya udah nelfon Mas Ganendra kan?" papar Binar dengan nada lembut yang menenangkan.
Uh!
Nggak tahu saja Binar, kalau dibalik sambungan, Ganendra tengah meremat selimut milik Abigail.
Mendengar nada lembut milik Binar, beban Ganendra rasanya berkurang satu per satu.
"Tapi tetap aja saya nggak enak. Gara-gara saya nggak ngubungin, Mba Binar jadi kepikiran masalah Abi."
"Saya udah nganggap Abi seperti anak saya sendiri. Jadi kalo masalah kepikirin, saya rasa itu wajar."
Perkataan Binar membuat Ganendra terdiam. Mata besarnya mengerjap cepat. "Anak sendiri?" ulangnya.
Di seberang sana, Binar mengernyitkan dahi karena tak paham dengan apa yang Ganendra katakan. "Anak sendiri? Maksudnya Mas?"
"Itu, tadi Binar bilang kalo udah nganggep Abi seperti anak sendiri."
Deg!
"Mampus!" dewi batinnya berujar histeris. Sedang yang bersangkutan tengah menepuk pelan bagian kening.
Biyu yang kebetulan melihat kearah Binar langsung mengerutkan pangkal dahi. Merasa bingung dengan gelagat adik sepupunya.
"Ah itu...ekhm!" Binar berdeham. "Maksud saya, eum...Abigail sudah saya anggap seperti anak murid saya sendiri, ng--nggak ada ma-maksud lain, iya gitu..."
"Aaaah...gitu," balas Ganendra
Entah kenapa, Ganendra merasa ada nada kecewa yang terselip dalam ucapan si duda. Apa mungkin karena perkataannya barusan?
Tapi, apa yang Binar katakan benar bukan? Abigail sudah Binar anggap sebagai muridnya sendiri. Karena pada dasarnya, Abigail hanyalah murid selundupan.
Meskipun secara nyata, Binar juga nggak menampik kalau dirinya menganggap Abigail seperti anaknya. Anak kandungnya.
Tapi nggak mungkin juga kan, kalau Binar mau berkata yang sebenarnya pada Ganendra? Nanti, kalau Ganendra salah tanggap bagaimana? Binar saja masih belum tahu perasaan yang dirasakannya ini apa namanya.
Merasakan keterdiaman dari lawan bicaranya dan gurat sedih dari nada bicara Ganendra barusan, Binar berniat memperbaiki situasi yang ada.
"Mas Ganendra?" panggil Binar lembut.
Ganendra menjawab dengan tak kalah lembutnya. "Iya."
"Eum...Abigail lagi apa?"
"Interupsi!" Biyu tiba-tiba bersuara ketika Binar selesai melayangkan pertanyaan.
Perempuan mungil itu langsung menatap Biyu dengan seksama sementara telinganya tetap awas mendengar jawaban Ganendra dari balik sambungan.
"Bukan Abigail yang lagi apa, tapi Ayahnya yang lagi apa. Iya kan?" goda Biyu dengan alis yang dibuat naik turun.
Binar mendengus kesal dengan bibir yang memberengut lucu. Tenang saja, Binar bukan marah, melainkan malu akibat modusnya ternotice Biyu. Sementara Biyu terkikik geli melihat Binar yang malu-malu tapi mau begitu.
"Abigail lagi tidur Mba, habis diinjeksi obat."
"Dari tadi tidurnya?"
"Eum...lumayan." Ganendra melirik pada jam mahal dipergelangan tangannya. "Sekitaran satu jam."
"Ah gitu...eum terus, Abela ada dimana?" tanya Binar lagi.
Entah kenapa, Ganendra merasa kalau anak gadis Bu Airin ini tak ingin obrolan mereka berakhir begitu saja. Semua bisa Ganendra rasakan dari sikap Binar yang terus melayangkan pertanyaan. Bukannya nggak senang, Ganendra hanya heran.
Tapi tak mengelak kalau ia juga menikmatinya. Kapan lagi kan, bisa bercengkarama dengan pujaan hati tanpa dituding terlalu percaya diri?
"Abela di rumah Mama, sama kak Yura. Kasihan kalo dibawa ke rumah sakit."
Binar mengangguk membenarkan. Batita seperti Abela memang rentan kalau dibawa-bawa ke rumah sakit seperti itu.
"Berarti eum, Mas Ganendra jaga Abigail sendirian?"
"Eum..." Ganendra melirik sekilas kearah Bu Sherin yang tengah tertidur lelap. "Y--ya." cicitnya. "Saya sendiri---"
"--soalnya Mama lagi tidur." lanjut Ganendra dalam hati.
Nggak salah loh kalau mas duda bilang begitu. Karena pada dasarnya memang hanya dia yang kini tengah menjaga Abigail. Sebab si Mama sedang sibuk mengarungi alam mimpi.
Mungkin di dunia sana Bu Sherin sedang bertemu Boy Willis. Aktor kecintaan Bu Sherin yang katanya mirip Siwon Super Senior.
"B-boleh saya k-kesana?" tanya Binar yang membuat Ganendra tiba-tiba memekik. "Eh?!" ujarnya.
"M-mba Binar ma--mau kesini?" ulang Ganendra untuk memastikan.
Di tempatnya Binar mengangguk. "I--iya, boleh?"
Ganendra terdiam. Bingung mau menjawab apa. Mau jawab boleh, nanti kok kesannya gimana. Mau jawab nggak, kok kayak nolak rejeki.
"Mas? Ng--ngak boleh ya?"
"Eh? Bu--bukan gitu." jeda Ganendra sebentar. "Maksud saya, apa nggak ngerepotin Mba Binar? Sa---" ucapan Ganendra terputus secara tiba-tiba.
"Saya mau jenguk Abigail Mas, nggak ada maksud lain."
"Ah...jenguk Abigail toh."
Ganendra langsung lemas mendengar jawaban Binar. Padahal dalam hati, Ganendra sudah berfikir yang iya-iya. Tapi ternyata...
"Boleh Mas?"
"Boleh kok Mba." jawab Ganendra lesu. "Kalo mau jenguk di rumah sakit Light Out 24/7 ruang anak, Suite Room nomor 12." katanya.
Binar mengangguk paham mendengar rumah sakit yang dimaksud Ganendra. "Yaudah kalo gitu, nanti sepulang kerja saya kesana ya Mas."
"Iya Mba," balas Ganendra tanpa minat. Masih agak getu hatinya karena ucapan Binar barusan.
"Kalo gitu saya tutup ya Mas telfonnya."
"Oh?" Ganendra tersadar, kemudian melanjutkan ucapannya. "Iya Mba."
Tapi setelah memberikan persetujuan itu, anak perempuan Bu Airin tak kunjung memberi salam penutup. Ganendra sampai mengernyit bingung.
Ponselnya bahkan sengaja ia juahkan untuk melihat apakah panggilan itu masih terhubung atau tidak.
"Mba?" pada akhirnya Ganendra memilih untuk memanggil.
"Iya, Mas?"
"Katanya mau nutup telfon, kok nggak jadi?"
"Eum...itu,.."
"Kenapa Mba? Ada yang masih mau ditanyain?"
"Eumm...iya."
"Oh, mau tanya apa?"
"I--itu...M-mas Ganendra udah makan?"
"Eh?" Ganendra langsung melotot.
Jantungnya yang semula baik-baik saja tiba-tiba jejingkrakan karena pertanyaan Binar. Asli nggak bohong.
"Mas Ganendra udah makan belum." ulang Binar.
Ditengah kebingungan yang masih melanda, Ganendra menggeleng. "Belum Mba." jawabnya jujur.