Binar terdiam.
Pandangannya tertuju pada sosok Ganendra yang masih berdiri menjulang di hadapan. Manik bulat bak biji kelengkeng itu mengerjap cepat, otaknya bahkan seperti tersesat di gang buntu. Sedangkan jantungnya, sudah kocar-kacir ingin menyelamatkan diri.
Pertanyaan Ganendra, atau yang mungkin bisa Binar bilang sebagai ajakan itu benar-benar membuatnya bingung.
"Mba Binar?"
Ganendra menyadarkan Binar dari lamunan sembari jemari panjangnya menjentik di depan wajah.
Binar mengedip. Sorot mata yang semula menerawang entah kemana kini terfokus pada manik gelap milik si duda.
"Astaga.." Dewi batinnya berujar karena terpesona dengan tatapan teduh yang Ganendra layangkan.
Jangankan dewi batinnya, Binar pun merasakan hal yang sama. Kadang Binar berfikir, bagaimana Ganendra bisa terlihat tampan hanya dalam sekali kedipan mata.
Padahal jika dilihat-lihat, tidak ada yang berbeda dari dirinya. Tapi kenapa Binar baru bisa menyadarinya sekarang?
"Mba?"
"Eh!?" Binar mengerjap sekali lagi. "Iya, kenapa Mas?" dan mulai merespon segala bentuk tindakan Ganendra.
"Nggak apa-apa, cuma manggil aja."
"Loh?"
"Habisnya Mba Binar daritadi diam aja, kayak ngelamun gitu. Saya jadi bingung."
Ganendra menggaruk pelipis kirinya yang Binar yakin tidak gatal sama sekali. Anak perawan Bu Airin itu yakin kalau Ganendra tengah gugup. Sebenarnya dirinya juga sama, tapi mungkin hanya beda reaksi saja.
Ganendra lebih sering menggaruk bagian wajahnya ketika gugup. Sedangkan Binar, ia lebih sering terbengong di tempat.
Anehkan? Ya memang.
Indukannya saja aneh semua. Jadi wajar kalau bibitnya ikutan juga.
"Ah, maaf...saya emang gitu kalau lagi gugup." cicit Binar pelan diakhir kalimat.
Dan sepertinya Ganendra nggak mendengar apa yang Binar katakan. "Em.. Mba Binar bilang apa barusan?"
"Ah, nggak..." tangan mungil Binar bergerak di depan dada. "Saya nggak bilang apa-apa kok."
"Ah, gitu...saya kira Mba Binar bilang sesuatu."
"Nggak...mungkin Mas Ganendra salah dengar."
"Ya mungkin..." jeda Ganendra sebentar. "Jadi, gimana Mba?" tiba-tiba Ganendra melayangkan pertanyaan yang anak Pak Juna tau sekali merujuk kemana.
"Ah, itu--ekhm--" Binar melegakan sejenak tenggorokannya yang mendadak kering.
Bahkan jantungnya kini sudah berdegup gila. Ya ampun, sepertinya Binar perlu periksa pada spesialis penyakit dalam sepulang dari sini.
Karena bukan hanya jantungnya yang bermasalah, tapi perutnya juga. Sudah Binar katakan bukan? Akhir-akhir ini seperti ada kolonial kupu-kupu yang menyerang perutnya setiap kali berbicara dengan atau mengenai si duda beranak dua.
"Saya makasih banget Mas Ganendra mau antar pulang. Tapi maaf Mas, saya nggak bisa." katanya. "A' Biyu yang mau jemput. Sekarang lagi di perjalanan." lanjut Binar lagi.
Kalau boleh jujur, apa yang Binar katakan adalah 100% sebuah kebohongan. Biyu tidak pernah sekalipun membuat janji untuk menjemputnya.
Walau jika ditelpon dan meminta menjemput pun si sipit tidak akan menolak, tapi tetap saja Binar tidak ingin.
Sudah cukup menyeret nama Biyu dalam kebohongannya. Binar tidak ingin menyusahkan Biyu lagi hanya untuk menyuruhnya menjemput di tengah kepadatan jalan raya sore ini.
"Oh? Mas Biyu mau jemput?"
"I--iya,"
"Kalo gitu sekalian ketemu Abi aja. Si gembul pasti suka kalo liat Mas Biyu jenguk."
Anak gadis Bu Airin menelan salivanya secara kasar. Maksud hati ingin berbohong sekali, tapi terpaksa harus terulang lagi hanya untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya.
Ya Tuhan.
Gini nih, kalau sudah bohong pasti keterusan. Pantas saja Tuhan melarang umat-Nya untuk berbohong. Karena ya begini jadinya. Dosa yang pertama belum tentu diampuni, lah dosa baru bahkan sudah menimpali.
Benar apa kata orang. Lebih baik berbicara jujur sekalipun itu menyakitkan. Tapi masalahnya, apa mungkin Binar berbicara jujur mengenai alasan di balik ia menolak ajakan Ganendra?
Nggak mungkin, kan? Malu yang ada.
Sembari mengucap bismillah dan memohon ampun yang sebesar-besarnya pada Tuhan dalam hati, Binar membalas ucapan si duda beranak dua.
"A' Biyu nggak bisa mampir. Ada urusan mendesak yang harus diselesaikan. Kebetulan urusannya di sekitaran sini, jadi sekalian jemput."
Ya Tuhan...
Lancar kali bibir hati itu mengucapkan kata-kata penuh kebohongan. Rasanya Binar Ingin menangis sekarang.
"Ah sayang banget, padahal saya berharap Mas Biyu bisa mampir sebentar liat Abi."
"Maafin saya Mas, tapi Aa' benar-benar sibuk."