Pukul tiga sore kami tiba. Perkebunan kelapa sawit di daerah Halaban Jati itu terlihat begitu muram. Matahari sepertinya enggan bersinar.
Kepalaku agak pusing, badan malah sedikit sempoyongan ketika turun dari mobil. Perjalan ini memakan waktu hingga satu setengah jam. Belum lagi jalanan yang tidak halus, jalan aspal kami rasakan tiga per empat perjalanan saja, selebihnya adalah jalan tanah berbatu.
Dan, saat ini musim hujan, jalan itu menjadi becek. Tadi kami tergelincir sekian kali. Wajar kan kalau aku sempoyongan dan merasakan pusing?
Om Win menyambut kami di depan rumah. Begitu juga Tante Yani yang terlihat begitu mencolok, daster merah berbunga kuning membuatnya seperti permen. Faris, sepupuku langsung memeluk kedua orangtuanya itu. Aku masih diam di samping mobil.
“Bili, kamu tidak mau berdiri di sana terus kan?” tegur Om Win.
Aku angkat tas dan mulai mendekati mereka.
Rumah Om Win terletak di atas sebuah bukit di antara rimbunan pohon kelapa sawit yang telah menjulang tinggi. Di bukit ini hanya terdapat lima rumah. Masing-masing rumah memiliki halaman yang luas, namun tak ada satu rumah yang berpagar. Bentuk rumahnya pun terlihat begitu tua, katanya, peninggalan Belanda. Pohon mangga dan rambutan terlihat hampir di setiap rumah. Dan, di ujung jalan, tepat di jalan turunan, ada sebuah bangunan kecil, semacam gardu jaga malam, tempat para satpam berjaga.
“Bili, kamu bertambah tinggi saja,” kali ini Tante Yani yang bicara.
Aku tersenyum dan membalas sewajarnya.
“Ayo masuk. Inilah rumah kami, Bil, tidak sebagus rumah kamu ya.”
“Bagus, kok, Tante. Tapi, kok cuma lima rumah?”
“Kalau mau ramai di bawah sana, di pondok.”
“Pondok?”
“Rumah para buruh,” serobot Faris dengan sedikit congkak.
“Barak?”
Faris tidak menjawab, dia malah menyengir.
“Kalian lapar kan?” potong Tante Yani.
Om Win menggiring kami ke kamar. Setelah itu ia mengajak kami ke belakang rumah. Faris teriak histeris begitu melihat kucing dalam kandang. “Papa, si Kenon sudah besar begini!”
“Ini kucing, Om?”
“Ya, semacam itulah, tapi ini jenis macan akar.”
“Macam akar? Dapat dari mana, Om?”
Kuperhatikan binatang itu lebih seksama dan rasanya sulit membedakan dengan kucing yang biasa. Si kenon bertubuh tak jauh beda dengan kucing yang sering kulihat. Rasanya, sebagai macan ia tidak begitu gagah. Sangat kucing sekali. Tidak menyeramkan dan kesannya malah tidak garang.
“Ada pekerja yang menemukannya saat membuka kebun yang dekat hutan sana. Kasihan dia, tampaknya ibunya mati. Macan akar sudah semakin langka lho, Bil.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Tetap saja kulihat itu seperti kucing biasa.
“Ayo, Bil, kita makan. Kamu tak mau jadi santapan si Kenon kan?” teriak Tante Yani.
Santapan Kenon? Memangnya bisa? Payah!
***
Perkebunan ini masuk dalam Provinsi Sumatera Utara, letaknya berdampingan dengan Taman Nasional Gunung Lauser. Om Win memiliki posisi yang sangat penting. Ia menjadi manajer perkebunan. Karena itulah, ia mendapatkan rumah paling besar dan di tempat yang terpisah. Empat rumah lain di bukit ini adalah rumah bawahan Om Win. Dengan kata lain, mereka adalah asisten perkebunan. Masing-masing dari mereka menguasai satu afdelling. Dan, setiap afdelling itu terdiri dari enam mandor. Para mandor itu tinggal di bawah sana, di pondok. Dan di setiap afdelling memiliki pondok tersendiri. Tepat di bawah bukit ini ada pondok milik afdelling satu.