Sampai pagi aku tidak menemukan jawaban kenapa pohon itu beda sendiri. Beberapa kali timbul niat untuk menanyakan hal tersebut dengan serius pada Om Win, tapi kutahan. Aku takut ditertawakan. Hingga, aku berpikir untuk mencari jawabannya sendiri. Ya, berdua dengan Faris lah.
Faris sedang jongkok di depan kandang Kenon. Diam mematung, memandang macan akar itu dengan pandangan takjub.
“Ayo, Ris, kita ke pohon itu lagi.”
“Lihat itu, Bil, kaya’ kucing ya?”
“Dasar bodoh, itu kan memang kucing.”
“Macan.”
“Macan kan kucing juga. Harimau dan singa juga kucing. Kalau anjing yang bukan kucing! Payah!”
Faris tetap memandangi Kenon.
“Ayolah, tampaknya ada yang aneh dengan pohon itu.”
Faris bangkit. Tanpa permisi pada Tante Yani, kami berdua berjalan menuju pohon aneh itu.
“Tapi Bil, kalau pohon itu memang hantu…”
“Kau takut?”
“Tak juga, tapi bagusnya kita hindari bahaya kan?”
Aku tidak menjawab. Kuperhatikan pohon sawit yang kami lewati. Benar saja, pohon itu sudah tinggi-tinggi dan tua. Buahnya pun semakin sedikit. Benar kata Om Win, pohon itu memang harus diganti dengan pohon yang baru. Hm, mungkin umur pohon itu sudah belasan tahun. Entahlah.
Tak lama kemudian kami tiba. Dari kejauhan aku lihat pohon aneh itu, daunnya menari kena angin. Pohon sawit yang lain, yang tinggi-tinggi, terlihat melindunginya. Udara sedikit lebih dingin. Suasananya sangat berbeda dengan kemarin, padahal ini kan masih pagi. Sepertinya Faris merasakan juga, ia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Kami tidak berhenti, terus mendekati pohon itu.
Sepuluh meter dari pohon kurasakan bau yang sangat pesing. Dan, udara yang sedikit dingin tadi bertambah dingin sekarang. Aku dan Faris saling berpandangan.
Suasana begitu sepi. Ke mana para pekerja?
“Kita pulang saja, Bil.”
“Bentar,” jawabku sok yakin.
Bau pesing semakin nyata dan aku terpaksa menutup hidung. Mengapa kemarin tidak ada bau seperti ini?
“Ayo, Bil!” Faris berdiri mematung di belakangku, sepertinya ia enggan mendekat.
Aku semakin mendekat ke pohon. Buah sawit, yang bijinya sebesar jeruk, terlihat begitu menggiurkan.
“Ah, lupa lagi kita bawa batu,” ujarku.
“Bil, bau kali! Kau masih mau makan!” Faris panik.
Semakin dekat ke pohon itu baunya semakin berkurang. Aku memetik satu biji. Kuperhatikan buah itu. Aneh. Kenapa kemarin tidak kuperhatikan? Biji sawit itu…
Akhrr!!!
Faris berlari dengan kencang. Aku juga.
Kami terus berlari tanpa melihat ke belakang. Hingga jarak yang aman, kami berhenti. Aku muntah! Faris juga ikut-ikutan muntah.
“Kan sudah kubilang kita pulang saja!”
Aku cuma diam. Badanku terasa begitu lemas. Tapi, kami harus menjauh lagi.
***
Kami berlari lagi, kali ini agak sedikit lambat. Tapi, kenapa kami ke arah ini? Kami tidak menuju rumah, tapi menuju pondok. Kami berhenti dan saling berpandangan. Ah, mungkin jalan menuju rumah terlewat ketika kami berlari sangat kencang tadi, pikirku.
Aku melihat ke belakang. Untuk kembali rasanya mengerikan juga. Bagaimana ini?
“Kita ke pondok saja. Aku punya kenalan di sana. Terus pulangnya kita dari jalan besar saja.”
Aku mengangguk. Tumben Faris memiliki pikiran yang menyenangkan seperti itu. Tapi, bagaimanapun juga, aku sepakat dengan Faris, lebih baik pulang lewat jalan besar daripada harus jalan ini lagi. Biar lebih jauh, terserah!
Kami mulai sedikit tenang, kami pun mulai berjalan. Sesekali melihat ke belakang, kuatir kalau ada apa-apa.
“Apa yang kau lihat, Bil.”