Ternyata perjalanan ini menyenangkan. Bayangkan, di sisi jalan setapak yang kami lalui selalu ada aliran air yang jernih. Ikan kecil kadang terlihat, begitu juga dengan kodok yang berlompatan sesuka hati. Menyenangkan, setidaknya ketegangan tadi sedikit terobati. Sepertinya, sungai kecil itu tercipta untuk mendampingi jalan. Tidak. Sepertinya, sungai itu terciptakan bagi kami yang panik.
Kami jalan berbaris, aku dan Faris berada di tengah. Pemimpin jalan adalah Andi, kemudian diikuti Ahmad. Di belakang aku dan Faris, berbaris Arman, Anton, dan Anwar. Mereka berjalan terburu, aku dan Faris harus mengikuti langkah mereka yang cepat. Dalam perjalanan tak ada satu kata pun yang terucap. Sepi dan sedikit menyeramkan. Padahal, ini kan belum begitu siang!
Untunglah, sungai kecil di sisi jalan itu begitu indah. Kalau saja tak ada sungai itu, mungkin aku sudah memaksa mereka untuk berlari saja. Bayangkan saja, di seberang sungai berbaris pepohonan kelapa sawit dan di sisi kami lainnya juga demikian. Bah! Bisa saja kan pohon hantu itu muncul dengan tiba-tiba.
Setelah lebih dari lima belas menit, kami memasuki jalanan tanpa kelapa sawit. Tampaknya kami telah keluar dari perkebunan ini. Kami memasuki kawasan dengan pohon yang besar-besar. Aku merinding, pepohonan ini terlihat begitu menyeramkan.
Tiba-tiba angin membawa bau pesing, entah dari mana asalnya. Aku lirik Faris, dia juga sedang melirikku. Dan, kami berdua mencepatkan langkah. Untuk ini, aku sepakat pada kelompok ‘A’, aku setuju kami berjalan cepat. Kalaupun mereka mengajakku berlari, tentunya aku yang paling depan!
“Sudah aman, kita sudah di luar jangkauannya,” ucap Anwar dari belakang sana.
Aku tidak merasa lega. Tak lama kemudian bau pesing itu pun menghilang. Tapi, tetap saja aku tak lega!
“Masih lama?” tanya Faris.
“Lima menit lagi kita sampai.”
Andi terus memimpin jalan tanpa berusaha melambatkan langkahnya. “Belum begitu aman kalau kita belum bertemu Kek Mat!”
Kami memasuki daerah yang lebih terang, pohon besar tinggal satu dua berganti dengan semak. Tak lama kemudian jalan kami memisah dari aliran sungai. Sungai berbelok entah ke mana, kami terus saja hingga menemukan pepohonan besar lagi. Payah! Kawasan ini lebih menyeramkan dari yang sebelumnya.
Andi melambatkan langkahnya, di depan kami ada sebuah rumah, rumah panggung. Rumah itu terbuat dari kayu, seluruhnya, kecuali atapnya yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Di bagian depan rumah itu ada kursi yang terbuat dari batang pohon.
Kami menaiki tangga rumah. Pintu rumah itu tertutup rapat.
“Kek Mat!” panggil Andi.
Tak ada sahutan. Andi mengulang panggilannya lagi, tetap tak ada sahutan. Andi turun dari rumah dan menuju bagian belakang rumah. Tak lama kemudian dia kembali. “Tampaknya Kek Mat sedang keluar…”
Serentak kami terduduk lemas.
“Kalau kita tak bertemu Kek Mat, bagaimana?” tanyaku.
“Harus ketemu!”
“Tapi…”
“Cuma itu jalan agar kalian selamat.”
“Tunggu dulu, Ndi, maksudmu saat ini kami sedang bahaya?”
Andi tidak menjawab. Dari ujung jalan terlihat seorang kakek dengan tongkat di tangan berjalan mendekat. Wajah Andi langsung berubah senang.
“Oh, ada tamu rupanya...” ucap kakek itu.
“Ayo masuk,” sambungnya.