Aku bermimpi.
Pohon itu berada tepat di samping jendela. Aku terkejut. Dahannya sampai masuk ke dalam kamar, tapi tidak ada bau pesing dan suasana yang dingin. Aku sendirian. Faris entah pergi ke mana. Om Win dan Tante Yani pun tak terlihat. Aku berteriak sekeras-kerasnya, tetap saja tak ada yang membantu.
Karena tidak melihat ada peluang melarikan diri, aku menatap pohon itu dengan tajam. Aku teringat dengan perkataan orang-orang, kalau terdesak dan tidak bisa melarikan diri, tatap saja matanya dengan tajam untuk menunjukan siapa yang lebih berkuasa, dia pasti akan pergi. Tapi, ini pohon dan bukan harimau atau macan! Apalagi, pohon ini memiliki mata yang begitu banyak. Matanya ada di setiap biji!
Ah, aku berpikir, mungkin saja ia sama dengan binatang buas. Jadi, kutatap matanya dengan tajam. Aku memilih mata yang ada di tandan paling atas, mata yang ada di biji yang sudah hampir masak, biji yang berwarna kuning kemerahan.
Entah berapa lama kami saling bertatap. Tiba-tiba ia menggerakkan dahannya, benar-benar seperti tangan, melambai-lambai, menari dan membuat gerakan yang menawan. Aku terpesona. Entah mengapa ketakutan dengan segera hilang. Aku mendekat dan memperhatikan dahan itu. Duri-duri yang ada padanya terlihat tidak tajam, semacam sisik ikan saja. Dan, aku menyentuhnya!
“Tak perlu takut kan?” katanya.
Aku mengangguk dan terbangun.
***
Aku tersadar ketika matahari telah panas. Faris sudah tidak ada di kasur. Payah!
Aku keluar kamar dan kudapati Faris sedang bermain dengan Kenon. Hm, anak ini sepertinya telah melupakan pohon hantu itu. Terserahlah, aku juga sudah tidak takut lagi. Tapi, di mana letak mulut pohon itu ya?
“Ris, jadi tak ke pondok?”
Faris mengangguk tanpa melihatku, tangannya terlalu sibuk membelai Kenon. Ternyata jinak juga macan kecil itu. Aku merinding ketika melihat mulut Kenon terbuka, giginya memang kecil, namun taring yang ada di sana terlihat begitu tajam. Aku bisa bayangkan jika taring itu menusuk kulit, pasti akan ada luka yang dalam. Ya, luka dalam seperti ketika kulit tertusuk duri dahan sawit.
Sawit?
Dulu, beberapa tahun sebelumnya, ketika berlibur di perkebunan sawit yang ada di Terban, aku pernah tertusuk duri sawit. Duri itu seperti paku besi, ia tidak patah ketika kuinjak, sandal jepitku pun tembus. Namun, tak ada darah yang muncrat, sepertinya darahku tertanam di dalam sana. Untuk menghindari infeksi, aku dianjurkan untuk segera mengeluarkan darah itu. Dan, batu yang sebelumnya untuk membelah biji sawit pun dijadikan alat. Dengan batu kupukul-pukul pinggiran luka. Benar, darah itu keluar dan rasa sakitku pun sedikit berkurang.
Tapi, duri sawit yang kuimpikan tadi malam tidak seseram bayanganku selama ini. Duri di pohon tersebut bak sisik ikan, tidak tajam dan begitu pipih. Menarik juga, rasanya aku ingin melihat lagi pohon itu.
“Ris, kita ke pohon itu lagi, yuk.”
Aku lihat Faris terkejut, ia memandangku heran hingga Kenon terlepas dan lari ke arah pepohonan sawit belakang rumah.
Serta merta aku dan Faris mengejar Kenon. Dia begitu lincah, cepat sekali, kami kehilangan jejaknya. Kami tidak putus asa, terbayang jika Kenon tidak kami temukan, Om Win tentunya akan marah besar. Jadi, kami terus saja mencari walau jejak Kenon tidak satu pun kami temukan.
Tanpa sadar, kami berbelok ke jalan tempo hari, jalan menuju pohon hantu itu! Dam, kami berdua saling berpandangan ketika menyadari jalan yang akan kami tuju.
“Kita kembali saja,” kata Faris.
“Tapi, Kenon?”
“Sudahlah, bilang saja dia lepas dari kandang, bilang saja kandangnya tidak terkunci.”
“Ris, bapakmu pasti tak percaya.”
“Terus kita harus kembali ke pohon itu!” Faris panik, aku lihat ketakutan pada wajahnya.
Aku belum sempat menjawab, tiba-tiba dari arah depan seperti ada yang berjalan mendekat. Pun suara Kenon semakin terdengar. Tapi, ada bau pesing yang begitu menyengat. Aku ingin berbalik dan berlari sekencang mungkin, tapi tidak bisa, kaki ini seakan mati. Faris terduduk di rumput tanpa bisa berbuat apa-apa. Kami berdua tidak bisa bergerak sama sekali!
***
Bau itu semakin menyengat dan suara Kenon semakin terdengar. Dari depan sana terdengar langkah menyeret, bukan langkah manusia, lebih mirip lemari yang didorong.