“Kenapa, Bil?” tanya Anwar.
Kenapa dia menanyakan, padahal aku tidak teriak atau sejenisnya?
“Tak ada apa-apa” jawabku, padahal tadi aku melihat sesuatu yang menarik. Pohon itu muncul sekejap dan menunjukan mulutnya yang berada di atas tandan yang paling bawah, tepat di tengah dua dahannya. Ia tersenyum dan seperti berucap, sayang teguran Anwar tadi malah membuyarkan konsentrasiku untuk menangkap pesan yang diberikan pohon itu.
Kelompok ‘A’ dan Faris kembali bercerita tentang anak mandor yang cantik. Aku sadar, di sela-sela perbincangan, mereka tetap saja memperhatikanku. Tapi, mengapa mereka menanyakan itu sedang tak ada jeritan yang kukeluarkan? Ah, mungkin mukaku terlalu tegang tadi. Payah!
Setelah itu, pohon hantu itu tidak muncul lagi. Kami bermain sepakbola ketika hari mulai sore. Lapangannya ternyata sangat kecil, tak terawat, dan hanya menyediakan sedikit rumput. Dan, karena dua hari tidak hujan, lapangan itu menjadi berdebu. Aku tak tahu, ini olahraga untuk sehat atau olahraga untuk sakit? Tapi, menyenangkan juga. Setidaknya kami semua bermain dengan gembira.
Sayangnya, tak ada satu pun dari mereka yang bisa merebut bola dariku. Payah! Amatir! Masa’ Anton menendang bola masih pakai jari kaki. Bah! Bayangkan saja kalau kuku kakinya panjang, kuku itu pasti patah terus masuk ke jari, berdarah. Kemudian, beberapa hari kemudian, luka itu akan bernanah. Ukh, menjijikan!
Sehabis bermain sepakbola kami menuju sungai yang pernah kami lalui tempo hari. Kami mandi sepuasnya. Bayangkan, bugil! He he he, punya Anwar sudah berbulu! Punya Andi sangat hitam! Dan, punya Faris masih berponi! Oh, aku lupa, dia memang belum sunat. Payah!
Pulang dari sana aku dan Faris memilih jalan besar, jalan pintas yang seharusnya lebih dekat belum berani kami lalui. Entahlah, setidaknya menurut Faris, kami harus cari aman dulu. Padahal, aku sudah tidak begitu takut lagi. Sudahlah, daripada Faris menangis ketakutan, kan lebih baik mengikuti pikirannya saja.
Sebelum tidur malam aku berharap akan bermimpi pohon itu lagi, setidaknya berjumpa sesaat. Aku penasaran dengan pesan yang ia sampaikan tadi. Aku tak sempat tahu, setelah ada teguran dari Arman, pohon itu langsung saja hilang. Aku yakin pohon itu tidak bermaksud jahat, dia kan tersenyum.
Sayang, sampai pagi aku tak mendapatkan apa yang kumaui.
***
Lucu juga, kemarin-kemarin aku sangat ketakutan, kini malah sangat ingin bertemu. Entahlah, aku merasakan iba, sepertinya pohon itu sangat kesepian. Bayangkan saja, pohon lain sudah tinggi dan tua, ia masih kecil dan muda. Ia adalah pohon yang terasing, ia pasti membutuhkan kawan. Ya, untuk bermain atau sekadar bercerita.
Ketika sarapan Tante Yani memasak nasi goreng dan telur mata sapi setengah matang untuk kami. Telur mata sapi itu ditaburi bawang goreng. Hm, nikmat. Om Win tidak makan nasi goreng, ia memilih roti pakai selai kacang saja. Katanya, kalau pagi ia tidak bisa makan nasi, bisa sakit perut. Apalagi nasi goreng, bisa buat ngantuk. Payah!
“Apa kegiatan hari ini?” tanya Om Win.
“Belum ada rencana, Om.”
“Ikut Om, yuk.”
“Ke mana, Pa?” potong Faris.
“Ke Besitang. Ayolah, daripada tak ada kerjaan kan lebih enak jalan-jalan. Terus kita makan siang makanan laut, bagaimana?”