Begitu memasuki perkebunan sawit, sopir Om Win melirik dari kaca, ia tersenyum pada kami. Senyum yang aneh.
Dan, entah dari mana, sesaat tercium bau pesing. Payah! Mobil ini ber-AC, jendela kan tertutup rapat, dari mana bau pesing itu?
Aku perhatikan sekeliling, tidak ada satu pun yang terlihat selain pohon sawit yang telah tinggi-tinggi. Faris menyentuh tanganku, sepertinya ia ketakutan. Sopir itu kembali tersenyum, senyum yang aneh, senyuman dari kaca. Om Win tidak sadar dengan apa yang terjadi, ia sibuk membaca koran yang dibelinya tadi.
Kami melewati pondok, terlihat kelompok ‘A’ sedang nongkrong di depan warung mi pecel, di sebelah rumah mandor yang memiliki anak cantik. Mereka bangkit dan memperhatikan laju mobil kami. Aku dan Faris melirik mereka, mereka tidak tersenyum, tatapan mereka sangat aneh. Tapi, tatapan itu tidak pada kami, mereka menatap sopir Om Win!
Mobil melambat.
Kemudian, mobil berhenti tak jauh dari warung mi pecel.
“Ada apa?” tanya Om Win.
“Sebentar, Pak, beli rokok dulu,” jawab sopir Om Win sambil keluar mobil.
Begitu pintu mobil terbuka, aku melihat kelompok ‘A’ lari tunggang- langgang.
Tak lama kemudian sopir itu kembali dan perjalanan dilanjutkan.
Aku tidak tenang, sepertinya ada yang tak beres dengan sopir itu. Mungkin, ada yang tak beres juga pada kelompok ‘A’.
Ukh, semakin tidak benar saja. Sepertinya, dua minggu liburan di perkebunan ini akan terasa sangat lama. Payah!
***
Aku dan Faris berbincang dalam kamar. Pintu kami kunci, kami tidak mau kalau tiba-tiba Tante Yani masuk dan mendengar perbincangan kami. Ini tentang kami, maka kami sendiri yang harus menyelesaikannya.
Saat itu hari telah sore menjelang magrib, dengan kata lain telah senja. Dari jendela masuk sinar jingga, cerah, sepertinya tidak akan ada hujan. Seharusnya sangat menyenangkan sekali duduk di beranda sambil minum teh dan makan gorengan. Tapi, sudahlah, masalah ini sangat penting.
Faris duduk di ujung kasur, aku memilih duduk di bangku dekat jendela. Wajah kami pasti terlihat begitu tegang.
“Bil, masa’ kawan-kawan pondok dan Kek Mat itu anak buahnya hantu pohon?”
Seperti yang kuduga, Faris pasti akan langsung menanyakan hal itu.
“Itu yang kupikirkan, sepertinya ada yang aneh. Sopir itu juga aneh, senyumnya itu, Ris, menakutkan.”
“Aku juga lihat. Tapi, yang kupikirkan kawan-kawan kita itu, kenapa mereka lari ketika sopir turun dari mobil?”
“Itu dia, payah! Kejadian itu kan malah menunjukan ada yang tidak benar dengan mereka.”
“Bisa juga ada yang tak beres dengan sopir itu kan?”
Aku terdiam memandang Faris, benar juga pikirannya. Bisa saja kalau sopir itulah anak buahnya pohon hantu.
“Sopir itu baru, Ris?”
“Tak juga, dia itu sopir mobil buah, sudah lama dia kerja di sini.”
“Aku baru lihat.”