Malamnya aku tidak bermimpi sama sekali. Tapi, sepertinya Faris sebaliknya, beberapa kali aku terbangun mendengar ocehannya. Dia mengigau. Sayang, kalimat yang ia ucapkan sama sekali tak kumengerti. Semacam erangan saja. Satu-satunya kata yang bisa mengerti hanya ketika ia menyebutkan namaku.
Anehnya, ia menyebutkan namaku dengan nada yang berbeda-beda. Kadang ia menyebutkan dengan syahdu, kemudian panik, marah, dan beberapa kali malah sambil tertawa. Mimpi yang aneh. Aku jadi penasaran dengan mimpinya.
Aku ingin membangunkan Faris ketika ia terlihat begitu ketakutan, baru saja aku hendak menyentuh, ia malah tertawa-tawa. Payah! Mimpi yang gila. Aku jadi tertawa juga. Benar-benar gila. Faris yang tidur menjadi gila dan aku yang terjaga pun ikut-ikutan gila.
Gara-gara mimpi Faris dan igauannya itu, aku cuma berhasil tidur selama tiga jam. Aku terlalu sibuk terkejut dengan suaranya. Akhirnya, aku cuma bisa berpikir dan mereka-reka, apa yang akan terjadi siang nanti. Ya, seperti kesepakatan aku dan Faris, siang nanti kami akan menemui sopir itu. Kurasa segala rahasia ada padanya. Hm, tak sabar aku menunggu siang.
Seperti yang bisa ditebak, paginya mataku bengkak! Payah! Payah!
***
Sopir itu bernama Drajat. Tingginya sekitar seratus tujuh puluh meter. Di tangannya, tepatnya di dekat bahu ada bekas daging yang melepuh, tampaknya itu tato yang telah dihapus. Hm, sangat jelek, dia pasti menghapus tatonya itu dengan getah damar. Atau malah dengan setrika? Entahlah, yang jelas siang itu ia terlihat sedikit menyeramkan.
Dia duduk bersama beberapa orang lain di meja tengah warung. Di meja itu, selain piring bekas makan yang belum dipindahkan, ada beberapa gelas kopi. Kopi hitam dan begitu pekat. Aku tak habis pikir dengan pikiran orang dewasa, mengapa di siang yang panas seperti ini mereka meminum kopi? Bukankah kopi lebih nikmat ketika pagi atau senja dan bertemankan gorengan? Bayangkan, ini makan siang, makan nasi! Payah!
Aku dan Faris sedikit ragu untuk mendekati sopir itu, teman-temannya itu yang membuat langkah kami meragu. Kami menunggu sesaat sambil berharap teman-teman pergi dan kami bisa mendatanginya yang sendiri. Kami memang ingin berada di tempat yang ramai, tapi bukan berarti perbincangan kami bisa didengar sembarang orang kan?
Dan, harapan kami jadi kenyataan, tidak lama menunggu, hanya satu menit. Benar-benar menyenangkan.
Langsung saja aku dan Faris duduk di depannya. Dari sinilah aku tahu dengan bekas tatonya itu, sepertinya bekas gambar harimau. Dia hanya bertelanjang dada, baju ia letakan di sandaran kursi, sepertinya hampir semua pekerja yang sedang istirahat juga begitu, setidaknya melepaskan beberapa kancing baju. Atap warung yang terbuat dari seng dan langit-langit tanpa asbes adalah penyebabnya, siapa pun yang berada di sini akan merasa terpanggang, semacam dalam oven saja.
Sopir itu tersenyum, senyum yang aneh. “Kalian mau menanyakan tentang yang kemarin kan?”
Aku dan Faris mengangguk. Dia tersenyum lagi, kali ini bukan aneh, tapi senyum yang mencurigakan.
“Dia masih mengikuti kalian kan?” tanyanya lagi.
Aku melirik Faris. Aku berharap ia tidak mengeluarkan kalimat bodoh seperti biasanya. Dan, mulut Faris terbuka, “Kami malah penasaran, kenapa dia tidak mengikuti kami.”
Ups, Faris terlalu berani, tapi keren juga kalimatnya. Setidaknya kami tidak boleh terlihat ketakutan kan? Sopir itu akan mengerjai kami lebih parah kan? Ayolah, siapa yang tidak senang menakuti orang yang ketakutan.
“Serius?”
Kami berdua mengangguk serentak.
“Baguslah kalau begitu. Tapi aneh juga, biasanya anak yang telah bertemu dengannya akan diikuti sampai waktu yang lama.”
“Berapa lama?” tanyaku.
“Tergantung, bisa bulanan dan bisa juga tahunan.”
Aku dan Faris berpandangan. Sopir itu tersenyum mencurigakan lagi.
“Dia masih mengikuti kalian. Jangan bohong, aku tahu itu. Apalagi, kalian telah bertemu dengan Kek Mat kan?”
“Memangnya kenapa dengan Kek Mat?”
“Kalian berdua dijampi-jampinya kan?”
“Aku tidak, Bili yang dijampi-jampi,” balas Faris.
Bang Drajat, sopir itu, mengangguk-angguk dan memandangku dengan tatapan iba. Entah apa maksudnya.
“Ayo kita keluar,” ajaknya.
Faris langsung berdiri.
“Kita di sini saja!” bantahku.
Kupandangi Faris, mengapa ia melupakan perbincangan kami tadi malam? Payah!