Akhirnya, aku dan Faris mampu menghindari sopir itu. Secepatnya kami berlari ke rumah. Tatapan terakhir dari sopir itu menyadarkan aku kalau ada yang tak beres padanya. Entahlah, aku merasakan sesuatu yang memang harus kuhindari.
Faris sempat protes ketika tangannya kutarik paksa. Penolakannya itu langsung hilang ketika kubisikkan kalau aku punya firasat buruk. Aneh, kemanjaan Faris kali ini tidak menjadi penghalang. Biasanya, dia selalu menanyakan arti firasat itu. Kali ini tidak, ia langsung menurut saja.
Sopir itu berusaha menahan, ia malah sempat memegang tangan Faris yang satunya lagi. Sesaat aku dan sopir itu seperti sedang mengikuti pertandingan tarik tambang, Faris menjadi tambangnya. Untungnya, masih ada tatapan penghuni warung yang membuat sopir itu menahan diri. Kami pun terbebas.
“Tanganku sakit, Bil, tangan sopir itu keras kali,” ucap Faris begitu sampai rumah.
“Makanya, dengar apa yang kubilang,” jawabku sembari duduk di teras.
“Kau tak bilang apa-apa, kau hanya bilang ada firasat buruk, tak ada mengajak pulang. Aku kan jadi bingung.”
“Cerewet, masa’ kau tak bisa lihat bagaimana dia menatapku!”
“Terus, kita bagaimana? Sopir itu tidak bisa dipercaya dan kawan-kawan kita sama saja, apalagi Kek Mat!”
“Yang kita dengar kan baru dari satu pihak. Kita belum dengar dari kawan-kawan kan?”
“Ayo, lagi membincangkan apa?” Tante Yani tiba-tiba sudah berada di belakang kami.
“Tak ada, Tante.”
“Masih tentang pohon hantu?” balas Tante Yani sambil duduk tepat di depan kami.
Aku tak menjawab. Kulihat Faris, dia juga tidak melihatkan tanda-tanda akan menjawab.
“Kalian berdua ini lucu, di saat orang lain sibuk berpikir tentang komputer, eh, kalian masih sibuk dengan hantu.”
Kami berdua tetap diam.
“Hm, tidak ada yang mau cerita? Baiklah, selesaikanlah masalah kalian. Tapi, harus kalian ingat, kalau pun hantu itu ada, pasti dia tidak jahat. Seperti ular, dia tidak akan jahat kalau tidak ada yang menjahatinya. Begitu juga gajah, dia rusak perkebunan karena apa? Ya, karena tempat tinggalnya semakin sedikit. Siapa yang membuat tempat tinggalnya menjadi sedikit? Kita kan? Manusia. Begitu, ya, tak perlu takut sama hantu. Yang perlu diwaspadai adalah manusia karena bisa saja manusia ciptakan hantu untuk mendapatkan keuntungan dari manusia lainnya.”
“Tapi, Ma, hantu itu mengerikan. Baunya pesing. Dan, dia buat Bili kesurupan.”
Tampaknya aku harus setuju dengan Faris kali ini. Ya, Tante Yani memang harus tahu yang sebenarnya. Kalau ada apa-apa denganku, pastinya dia yang repot kan?
“Kamu kesurupan, Bil?”
Aku mengangguk.
“Waduh, bahaya ini. Hm, Papamu sudah tahu, Ris?”
Faris menggeleng.
“Yang mengobati siapa?”
“Kek Mat, Ma.”
“Kek Mat yang tinggal di kampung sana?”
Faris mengangguk.
Kuperhatikan mimik Tante Yani begitu mendengar nama Kek Mat. Tak ada mimik yang mencurigakan. Jelas ia kuatir, namun khawatirnya lebih mengarah pada kami, bukan pada Kek Mat. Dengan kata lain, Kek Mat tidak berbahaya menurut Tante Yani. Aku jadi penasaran dengan sopir itu.
“Tante, Bang Drajat itu baik atau tidak?”
“Maksud kamu?”
“Dia pernah berbuat jahat atau nakuti anak kecil seperti kami?”
“Selama yang Tante tahu tidak pernah. Kenapa?”
“Tadi dia membuat kami ketakutan, Ma. Dia menceritakan pohon hantu itu dan apa saja yang telah terjadi,” balas Faris.
Tante Yani diam, keningnya berkerut, jelas ia sedang berpikir hebat. “Kita bincangkan lagi nanti, kita tunggu Papamu pulang. Kalian jangan pergi-pergi dulu,” ucapnya.
Aku dan Faris saling berpandangan. Seberat apa kasus ini, pikirku.
Tante Yani permisi, ia masuk ke dalam rumah. Entah apa yang ia lakukan, aku sama sekali tidak tahu.
***