Hantu Kelapa Sawit

Kenon BB
Chapter #9

Chapter 9

Kami tiba di pondok. Tadi sengaja kami memilih lewati jalan besar. Kami tidak mau berisiko karena memilih jalan pintas belakang rumah. Ya, walau jalan besar juga punya risiko, setidaknya kami sedikit tenang karena tak pernah menemukan hantu itu di jalan tersebut. Dan, jalan besar adalah jalan umum, jalan yang dilewati setiap kendaraan yang berada di perkebunan.

Di gardu satpam, satpam yang memberikan pesan Om Win tadi kembali mengulang pesannya. Kami berdua mengangguk dan langsung buru-buru menuju pondok.

Dalam perjalanan tadi, aku berpikir, kalau Om Win baru bisa pulang nanti malam, berarti Bang Drajat juga. Bukankah sopir utama masih sakit?

Kelompok ‘A’ sedang berada di tempat kesukaan mereka – dekat rumah mandor yang memiliki anak gadis cantik. Begitu melihat kedatangan kami mereka langsung bersorak. Senang. Hingar-bingar.

“Bos, lapar nih. Tampaknya mie pecel itu enak ...,” sambut Ahmad.

Payah, dalam keadaan seperti ini mereka masih memikirkan perut. Ups, bukankah mereka tak tahu keadaan yang sebenarnya?

“Ya, sudah, makanlah,” balasku.

Mereka bersorak dan langsung menyerbu penjual mi pecel. Faris memandangku bingung.

“Biar saja. Kita tunggu waktu yang tepat,” bisikku.

“Tapi, Mamaku ....”

“Tenang saja. Kau juga makanlah. Sebentar lagi kita bertempur.”

Faris menurut. Kami bertujuh makan. Aku dan Faris hanya bisa memakan mi itu beberapa suap saja. Sedangkan kelompok ‘A’, seperti belum makan dua hari. Mereka terlihat rakus. Aku sempat tersenyum melihat tingkah mereka. Faris juga. Syukurlah, setidaknya mereka mampu meredakan ketegangan sedikit.

Acara makan selesai. Saatnya berbincang. Tidak perlu bercanda lagi. Tante Yani belum diketahui nasibnya.

“Kenapa kalian lari begitu melihat Bang Drajat?” tanyaku langsung.

“Sopir itu?” balas Arman penuh selidik.

Aku mengangguk.

“Dia cerita apa saja tentang kami?”

“Jawab dulu pertanyaanku!” balasku.

Mereka saling berpandang. Sepertinya sedang menentukan siapa yang akhirnya berbicara.

Andi mengangguk. Lalu, dengan gaya yang sok dewasa, ia mulai membuka mulut. “Kalian ingat dengan cerita tempo hari, tentang anak yang hilang itu?”

“Dia anak itu?” potongku.

Mereka mengangguk.

Apakah aku harus percaya? Mereka saling menuduh. Bang Drajat menuduh Kek Mat dan kelompok ‘A’ sebagai musuh, sedangkan Kelompok ‘A’ sebaliknya. Payah!

“Kek Mat yakin dengan itu. Kami tidak boleh dekat dengan si Drajat, dia kembali ke perkebunan ini karena ingin balas dendam. Dia kaki tangannya hantu itu. Dia sedang menungu waktu yang tepat untuk melakukan niatnya. Karena itu, kami harus hati-hati,” ucap Andi.

Aku memandang Faris. Faris juga. Tatapan Faris kuartikan kalau ia ingin segera menceritakan hilangnya Tante Yani pada kelompok ‘A’. Tunggu dulu, aku tak boleh terburu. Aku tak boleh langsung percaya dengan cerita kelompok ‘A’.

“Kenapa kami harus percaya pada cerita kalian?” tanyaku.

“Terserah kalau kalian tak percaya. Tapi, kami percaya dengan yang diucapkan Kek Mat. Kalian kan tahu kalau Kek Mat yang telah menolong kita selama ini. Kenapa kita tak percaya dengan orang telah menolong kita?” balas Andi dengan sedikit sinar marah di matanya.

“Bisa saja dia pura-pura baik. Lalu, ketika kita mulai percaya dengannya, dia langsung memanfaatkan kita.”

Lihat selengkapnya