Tak ada sambutan atau ucapan selamat dari Kek Mat. Ketika kami sampai di tempatnya, ia sedang asyik makan kelapa muda diterangi api unggun ala kadarnya. Payah!
“Lapar kali aku, jadi kumakan saja kelapa muda ini. Kalau kalian mau, panjat saja pohon itu,” katanya.
Payah! Dukun yang payah, masa’ dia memakan kelapa yang sudah dijampi-jampinya.
Kami tidak menanggapi kalimat Kek Mat. Kami duduk mengepungnya.
“Apa dia sudah kalah, Kek?” tanyaku.
Kek Mat tertawa, “Tentu. Dia tidak akan muncul lagi di sini. Tenang saja. Kita semua sudah terbebas. Untungnya kalian bisa mengambil keputusan yang tepat. Aku lupa bilang, kelemahannya itu ada pada matanya. Tepatnya di tandan yang paling bawah. Selama mata itu belum dilumpuhkan, dia akan tetap kuat.”
“Pantas, sejak Bili menghancurkan mata itu, pukulan kami tidak mental lagi,” ucap Andi.
“Tapi, Kek, Bang Drajat bilang kalau mata itu senjatanya kita tidak boleh memandangnya langsung.”
“Bili, banyak orang mengatakan kalau kelemahan sebagai senjata. Kau tahu kenapa? Supaya kita takut menyerang kelemahannya itu,” terang Kek Mat.
Benar juga katanya. Hm, kenapa tak terpikirkan sebelumnya. Payah.
“Tapi, Bil, kenapa kau bisa menyerangnya?” tanya Arman.
“Entah. Tiba-tiba saja aku menyerang mata itu, sepertinya ada yang mendorong.”
Kek Mat tersenyum-senyum. “Jangan panggil aku Kek Mat kalau tak bisa memberikan dorongan jarak jauh,” katanya dengan sombong.
“Mamaku, Kek?”
Kek Mat menghentikan senyum sombongnya dan langsung memandang Faris. “Sudah aman, dia sedang berada di rumah. Dia tidak ingat apa-apa tentang kejadian ini. Jadi, tak perlu kau tanyakan apa-apa padanya,” katanya.
“Benar, Kek!”
“Jangan panggil aku Kek Mat kalau tidak benar!”
Faris tertawa senang. Aku juga. Kelompok ‘A’ juga.
“Terus, Kek Mat malam ini menginap di mana?” tanyaku. Kasihan juga melihatnya yang kehilangan rumah dan sumur.
“Bah! Di sinilah, aku kan sedang piknik.”
“Tidur di rumahku saja, kek,” kata Faris.
“Tak perlu Faris. Tenang saja. Aku mau menikmati suasana ini dulu. Kalian pulang saja, tentunya orangtua kalian sudah khawatir.”
“Kek Mat bagaimana?” tanya Anton.
“Ah, aku di sini saja. Kalau kalian baik, besok pagi kunjungi akulah. Sarapan dari kalian yang kutunggu,” jawab Kek Mat sambil tersenyum lebar. Ompongnya terlihat. Aku tertawa keras. Faris juga. Kelompok ‘A’ juga.
“Tapi, yang harus kalian ingat, kejadian ini tidak ada. Tidak ada hantu kelapa sawit. Tidak ada hilangnya Bu Manajer! Cukup kita saja yang tahu. Bagaimana, sepakat?” sambung Kek Mat.
Kami mengangguk serentak.
***
Hari sudah malam ketika aku dan Faris tiba di rumah. Mungkin sudah pukul delapan malam. Tante Yani duduk di teras. Begitu melihat kami dia langsung berdiri sambil berkacak pinggang.
“Bil, kalau kena cubit sampai berdarah pun, aku tak akan nangis. Yang penting, Mamaku sudah kembali,” ucap Faris dengan bahagia.
Aku setuju dengannya. Sumpah. Senang kali rasanya melihat Tante Yani berkacak pinggang begitu.