Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #3

3. Awal Perjalanan

Sudah tiga bulan berlalu, harusnya Abi ikut seleksi PPDB di SMA impiannya, tetapi dia harus memilih jalan yang berbeda agar orang tuanya senang. Abi akan melakukan apa pun yang diminta orang tuanya karena Abi yakin kalau semua yang dilakukan orang tuanya atas dasar sayang.

Kini Abi harus masuk ke daerah pelosok Surabaya, di mana daerah ini adalah daerah terpencil yang tidak banyak orang tahu. Sejujurnya Aisyah tidak tega jika Abi harus diantarkan ke pondok pesantren yang super sepi seperti ini, tapi apa mau dikata Fajar berhasil merayu Aisyah lewat rekomendasinya.

“Ayah, Bunda, masih lama, ya? Abi capek banget! Ayah sama Bunda kemarin daftarkan Abi di pondok mana, sih? Kok sepertinya jauh sekali sama jangkauan kota?” tanya Abi nanar. Mukanya sangat sayu. Kulitnya yang sawo matang sampai mulai memutih saking dinginnya AC mobil.

Mobil Fajar kini menembus jalanan sawah-sawah berkelok, membuat Abi lumayan dibuat pusing. “Tenanglah Abi, kita sudah mau sampai kok! Tempatnya dekat pantai. Pasti kamu suka, deh!”

Abi menghela napas berat. Batinnya berkoar-koar. Tetap saja masih jauh! Mengapa lokasinya harus di sana?! Bunda sama Ayah kan bisa mencarikan saya lokasi yang nyaman begitu!

Perjalanan terasa cepat setelah Abi tertidur dalam mobil. Remaja itu baru dibangunkan ketika mobil sudah terparkir rapi.

Fajar mencoba menggoyang-goyangkan Abi agar dia bangun. Abi terlihat sangat lelah. Namun dia harus menemui teman-temannya hari ini. Dia juga harus berpisah dengan orang tuanya.

“Sudah sampai, ya?” tanya Abi sambil mengucek matanya.

Fajar kemudian turun dulu, meraih tangan Abi dari luar. Pria itu meminta anaknya segera keluar. “Ayo, Nak! Kamu harus bahagia hari ini. Kamu akan bertemu teman-teman baru!”

Fajar terlihat sangat antusias, dari tadi senyumnya merekah. Namun tidak dengan Abi. Setelah turun Abi masih memikirkan untuk tidur di mobil ayahnya. Dia sangat ingin kembali dan tidak ingin bertemu orang-orang baru. Wajah boleh tampak tersenyum, tetapi hati harus bisa merelakan.

Aisyah menatap anaknya dengan perasaan khawatir. Dia membayangkan bagaimana kerasnya kehidupan mandiri di pondok pesantren. Mungkin bagi orang-orang yang pernah menjadi santri ataupun santriwati akan menganggap lebay sikap Aisyah dan Abi, tetapi bagi mereka yang masih belum tahu, tentu masih terbesit rasa khawatir yang berlebihan terhadap nasib anaknya nanti. Apakah dia akan belajar baik tanpa pengawasan orang tua? Atau ... apakah sebaliknya, malahan tidak bisa menyerap semua ilmu dari ustaz?

Abi kemudian diajak untuk berjalan ke arah lobi dan kantor pengurus pondok pesantren. Ruang lobi layaknya terowongan, berjejer piala kejuaraan. Ini semakin memantapkan Fajar dan Aisyah untuk menitipkan anaknya di sini.

“Ayah, ke manakah kita akan pergi sekarang?” tanya Abi nanar.

Fajar mengacak-acak rambut Abi. “Kita akan menemui Ustaz Zaki. Dia salah satu pengurus yang bertugas mendata murid-murid baru. Hari ini, kata Pak Ustaz, kamu akan dikenalkan sama teman-teman sekamarmu!”

Abi memikirkan sesuatu. Bagaimana dia bisa beradaptasi, sedangkan dia terbiasa sekolah di tempat elite dan minim anak-anak nakal?!

Lokasi kantor berada pada lantai satu. Tidak terlalu melelahkan sebab tidak harus naik ke tangga atas.

Kini mereka sudah tiba di depan ruangan Pak Zaki. Kalau coba mengintip dari kaca, Pak Zaki sudah ada di dalam. Fajar membuka pintu kaca itu, kemudian mulai memasuki ruangan, disusul oleh Abi dan Aisyah.

Ketika mereka mulai masuk, Ustaz Zaki langsung berdiri. Senyumnya seketika merekah. Dia kemudian menyalami Fajar dan Abi. Sedangkan Aisyah hanya salam dengan menyatukan kedua telapak tangannya.

“Oh, ini Abi, ya? Anak yang mau daftar pesantren?” tanya Ustaz Zaki.

Abi tersenyum canggung, kemudian hanya mengangguk.

“Kamu jangan khawatir, ya! Kamu di sini banyak temannya kok! Coba saja nanti, Ustaz akan mengenalkan kamu kepada teman-teman barumu. Mau kan diajak ke kamar sama teman-teman?”

Abi sekali lagi hanya tersenyum canggung tanpa membalas perkataan Ustaz Zaki.

“Nak, itu Ustaz tanya, loh!” tegur Fajar.

Abi merespons teguran ayahnya. “I-iya, Ayah!”

Lihat selengkapnya