Abi, Ali, Damar, Jonathan, dan Dewa malam ini berada di musala bersama teman-teman sekelasnya. Seperti hari-hari biasanya, pukul 20.00 sampai 21.00, tepatnya setelah salat isya akan ada hafalan surat dan setor surat. Ustaz membatasi setidaknya harus ada lima ayat yang disetorkan selain juz 30. Dan untuk juz 30, wajib disetorkan kapan saja, yang terpenting ada proses belajar dan mengajar.
Abi kini duduk di luar ruangan, melamun sembari melihat purnama yang besar. Warna keemasannya, ditambah keheningan malam membuat Abi tercengang sekaligus kagum. Pria itu bahkan sampai menguap setiap saat saking mengantuknya.
Sejujurnya Abi sendiri masih ada tugas setoran hafalan, tetapi Abi sudah menghafalkan dan menunggu orang-orang setor duluan. Di dalam masih ramai, membuat Abi memutuskan untuk keluar mencari udara segar.
Bagaimana ya jika saya tidak betah tinggal di sini? Rasanya kayak di penjara. Kalau dulu, Bunda Aisyah selalu meminta saya setoran hafalan setelah magrib. Kalau sekarang harus malam sekali. Apalagi besok harus sekolah lagi dan saya belum mengerjakan tugas-tugas sekolah. Jika saya di rumah, pasti saya bisa mengerjakan tugas lebih cepat dan semua terasa fleksibel tanpa diatur sedemikian rupa.
Ali kemudian menghampiri sahabatnya itu. Dia tidak sengaja melihat Abi sendirian di luar setelah Ali kembali dari kamar mandi.
“Kamu ... kok sendiri? Ada apa lagi, sih Abi?!” tanya Ali, kemudian memutuskan duduk bersebelahan dengan Abi.
Perlahan Ali mendekati tubuh Abi. Tangan kirinya merangkul tubuh Abi sampai Abi mendelik keheranan. “Ma-makasih. Tidak ada apa-apa, hanya saja saya sedang menikmati pemandangan purnama di atas sana. Saya banyak memaknai sesuatu ketika saya sendirian.
“Saya baru saja hafalan tadi, mengapa kamu tidak masuk kembali? Kamu belum setoran satu hafalan sama sekali!” seru Ali.
Abi menggelengkan kepalanya. “Apakah masih banyak orang? Saya tidak ingin menunggu di dalam. Lebih baik di sini, supaya bisa menghirup udara segar.”
“Sudah banyak yang hafalan. Sejujurnya ini juga sudah mau selesai karena sisa beberapa saja. Lebih baik kamu masuk dulu! Enggak baik sendirian di sini, kalau ada apa-apa temanmulah yang pertama merasa khawatir!” balas Ali, kemudian tersenyum tampak gigi putihnya.
Abi mengangguk, kemudian tersenyum kepada Ali. “Ya, kamu benar. Saya akan masuk dulu, kemudian saya akan mengurus keperluan semuanya. Lebih baik saya maju hafalan dan setelah ini mengerjakan tugas sekolah kita yang pertama.”
Ali kemudian berdiri, disusul Abi juga. Kemudian mereka sama-sama masuk ke dalam untuk duduk bersama Damar. Damar melontarkan beberapa pertanyaan, misalnya ke mana sajakah mereka. Namun pertanyaan itu dijawab oleh Abi dengan baik.
Abi kemudian melihat tempat setoran surat sudah kosong. Abi kemudian maju menemui Ustaz Zaki dan melakukan setoran ayat. Kali ini masih dimulai dari surat Al-Baqarah ayat 1 – 5.
Setelah setor hafalan selesai, Abi, Ali, dan Damar membawa Al-Quran mereka segera menuju ke kamar. Sedangkan Jona dan Dewa sudah lebih dahulu balik ke kamar mereka.
Di kamar, mereka bertiga kemudian meletakkan Al-Quran di tempat yang aman, kemudian mengambil tas mereka masing-masing untuk mengambil buku mata pelajaran dan mengerjakan tugas.
Dewa dan Jona melihat Abi sangat rajin mengerjakan tugas. Mereka kemudian mendekati Abi dengan wajah menyebalkan. Lehernya dipatah-patahkan, alias direnggangkan seperti seorang preman kampung.