Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #7

7. Hantu Musala

Kini Abi merasa lelah sekali. Bagaimana tidak? Dia baru saja tidur jam dua belas lebih. Apalagi di jam satuan, Abi harus bangun untuk melakukan pembiasaan salat tahajud. Mereka harus cepat karena jadwal mereka wudu harus lebih awal. Jika tidak, Ustaz Zaki pasti menghukumnya.

Ali merasakan banyak nyamuk yang hinggap pada tubuhnya. Kemudian dengan mata yang masih terpejam, Ali memukul nyamuk itu satu persatu. Namun dia tak tahan, kemudian matanya yang semula terpejam, kini terbuka. Ali menguap parah, kemudian matanya berotasi ke arah jam dinding yang ada pada kamarnya. Jam menunjukkan pukul 1.30. Pembiasaan salat tahajud biasanya akan dilakukan sekitar jam-jam ini.

Ali mulai tersadar, kemudian mencoba turun dari ranjangnya di tingkat kedua. Dia kemudian mencoba melihat sekitar. Semua temannya masih tidur. Kali pertama Ali menggoyang-goyangkan tubuh Damar agar segera bangun. Damar memang agak kesulitan bangun, tetapi dia menyadari bahwa akan ada pembiasaan salat tahajud maka Damar pun menuruti permintaan Ali. Sedangkan Ali mencoba memanjat tangga ranjang di tingkat ketiga, Ali melihat Abi tertidur dengan sangat pulas.

Ali menggoyangkan tubuh Abi, tetapi Abi tidak langsung bangun. Butuh beberapa menit untuk membuat Abi tersadar. Dia tampak begitu lelah maka dari itu Ali sebenarnya merasa kasihan. Apalagi dia harus menunggu semalaman sampai bukunya dikembalikan oleh dua curut itu.

“Abi, ayo. Kata Ustaz akan ada pembiasaan salat tahajud. Bangun, yuk!” ajak Ali.

Sambil menguap Abi berkata, “Kata siapa? Saya capek sekali ....”

“Abi, aku tahu kamu capek, tetapi pembiasaan ini wajib. Kamu harus bisa beradaptasi mulai sekarang. Mungkin kamu sudah terbiasa tidur lebih awal dan bangun salat tahajud di rumah. Namun di sini walaupun kamu tidur terlalu malam, kita juga tidak boleh meninggalkan kewajiban!” seru Ali, mencoba menasihati.

Dari bawah Damar merasa penasaran. “Eh curut, sudah bangun belum si Saritem? Aku capek banget. Secepat mungkin harus salat, lalu tidur lagi!”

Mendengar perkataan Damar, Dewa pun terbangun. Setelah itu Dewa membangunkan Jonathan juga.

“Jadi anak pendek itu belum bangun, ya?” sahut Dewa.

Damar dan Ali hanya menatap Dewa. Kemudian Ali melanjutkan untuk membangunkan Abi.

“Abi, semua sudah bangun. Tinggal kamu saja. Ayo, nanti kita terlambat. Kita kloter satu harus duluan!” seru Ali, lalu menggoyangkan tubuh Abi lebih keras.

Abi menarik napas panjang, kemudian mulai membuka matanya. “Baiklah!”

Abi dan Ali kemudian turun dari tangga ranjang. Mereka berlima lalu bersama-sama pergi ke musala. Dewa dan Jona memang terlihat sangat jahat, tetapi mereka pun menyadari bahwa Abi juga teman mereka. Apalagi sebelum ini mereka sudah berteman dengan Ali dan Damar sejak lama, jadi tidak mungkin akan berpisah terus.

Mereka turun kemudian berjalan ke musala. Sesampainya ke musala, mereka lalu melepas sandal dan ingin ke tempat wudu.

“Malam-malam gini ada setan enggak, ya?” tanya Ali overthinking.

“Lo penakut banget, sih alay! Ah, mana ada setan di zaman sekarang?! Dari gue kecil di Jakarta, sampai gue dikirim ke pondok ini, gue enggak pernah kok lihat setan atau digangguin sama setan!” timpal Jonathan dengan muka judes.

Wajah Ali berkeringat. “Ihh, tapi Ali takut banget loh!”

“Kamu takut? Coba deh bercermin?! Nanti pasti kamu bakal tambah takut!” saran Damar, kemudian terkekeh.

Ali tampak nanar. “Memang ada apa kok bisa bercermin buat aku takut?”

“Karena wajahmu sudah kayak monyet. Nanti kamu takut sendiri loh lihat wajahmu!” Damar menggoda Ali, membuat gelagak tawa semakin besar dari semua temannya.

“Damar, kamu mau aku lempar ke sungai atau aku makan ini?” Ali terlihat kesal.

Lihat selengkapnya