Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #8

8. Teror Hantu Musala

Abi hari ini tertidur sangat pulas, begitu juga teman-temannya. Namun satu hal yang membuat Abi lebih taat terhadap perintah Allah adalah dengan cara Abi mengingat salat lima waktu, terutama salat subuh.

Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Pagi ini ayam mulai berkokok nyaring, sedangkan purnama belum meninggalkan puncak singgasananya. Desa masih hening, belum ada aktivitas di mana-mana. Hanya saja, udara dingin yang terjadi pagi ini membuat semua orang enggan bangun dari tempat tidurnya.

Begitu pula Abi. Telinganya dibuat tergelitik ketika mendengar suara azan. Kini Abi sudah tidak membutuhkan ponsel lagi. Itu karena sekarang dia harus mandiri. Biasanya berbekal alarm ponsel, pria itu langsung bangun. Tanpa orang tua yang selalu membangunkannya.

Abi mulai membuka matanya. Masih remang-remang. Dia belum bisa melihat teman-temannya. Entah mengapa Abi merasa sangat capek akhir-akhir ini. Perlahan, pria itu membuka selimut warna birunya. Keringat Abi merembes membasahi kaos kuning yang dikenakannya. Bagaimana tidak? Di saat cuaca menjadi dingin, seharusnya Abi membuka selimutnya, bukan malah memakai selimut! Sepolos itu dia.

Kebetulan Abi hari ini tidur di ranjang tingkat ke tiga. Kini dia harus berjalan turun untuk membangunkan teman-temannya. Memang, Abi ini sudah diakui Ibunya paling rajin di rumah, apalagi di pesantren?

Abi merenggangkan tangannya, kemudian kakinya mulai menapak tangga. Di bawah ranjang Abi adalah ranjang Ali. Pria itu masih terlihat cukup pulas, padahal guru meminta mereka untuk bangun lebih awal karena kamar mereka adalah kloter pertama untuk salat subuh agar musala tidak terlalu sempit.

Abi menguap, tangannya kemudian menyentuh pundak dari Ali. “Ali, bangun! Sudah pagi!”

Ali menarik napas panjang. “Apa? Sudah malam, ya? Kalau begitu lanjut tidur saja!”

Abi menghela napas berat. Dia kemudian menarik selimut milik Ali sampai Ali seketika membuka matanya. “Eh, eh, apaan sih!”

“Ayo sudah pagi!” seru Abi.

Teriakan Ali terdengar oleh teman-temannya yang lain. Damar, Jona, dan Dewa. Mereka melirik arah sumber suara. Kebetulan Jona dan Dewa berbeda ranjang dengan ranjang milik Abi dan Ali. Sedangkan ranjang Damar berada di bawah ranjang Ali (di tingkat paling bawah).

“Ustaz meminta kita bangun terlebih dahulu, bukan? Alamat! Kita bakal dihukum masak seharian di dapur nanti siang!” Damar memulai, membuat mata seluruh ruangan berkiblat padanya.

“Damar benar! Kita harus pergi sekarang! Ustaz pasti sudah menunggu kita di Musala!” sahut Dewa. Tanpa sadar keringatnya mengucur, takut apabila ustaz sudah datang dan menempati mihrab imam.

“AAA, tapi masih subuh. Aku takut!” seru Ali sambil mengucek matanya.

Jonathan berdecak kesal. “Lo itu penakut banget! Gue enggak mau dihukum gara-gara lo alay! Cowok kok alay!”

“Sudah, Jo!” Abi melerai Jonathan agar tidak berbicara kasar, kemudian menoleh kepada Ali. “Kalau kamu enggak mau bangun kita tinggal, nih!”

Mata Ali mendadak membesar. Semangatnya langsung berapi-api. “Iya, aku ikut!”

Ali kemudian beranjak dari tempat tidurnya, begitu juga Abi, Damar, Dewa, dan Jonathan. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke musala. Perjalanan menuju ke musala tidak lama. Mereka hanya perlu turun dari asrama pria ini, kemudian mereka akan menemukan musala di depan.

Ali sempat melipat tangan, badannya bergemetar. Memang udara cukup menjadi dingin baginya, tetapi tidak dengan Abi. Justru dia merasa udara dingin kali ini sangat segar dan tidak menyiksa seperti yang dirasakan Ali.

“Bagaimana kalau ustaz sudah di sana? Aku bakalan ngompol sekarang juga!” tandas Ali.

“Eh, jangan ngompol di sini, kamu mau diculik hantu musala?” goda Damar dengan sedikit tertawa.

“Lagian kalian sendiri, kan yang bangunnya malas-malasan?” tancap Jonathan.

“Ah, kalian sama saja! Kalian semua enggak akan bangun kalau Abi enggak bangunin kita!” sahut Dewa, membuat yang lain tertawa lepas.

Kini mereka sudah sampai di musala. Abi dengan kaki kanannya masuk terlebih dahulu. Di susul yang lainnya. Dengan cepat mereka menuju ke tempat wudu.

Abi yang pertama membuka keran. Suara air yang mengalir cukup membuat bising. Di susul yang lain juga ikut mengambil wudu.

Abi menutup keran air seusai wudu. Dia kemudian meninggalkan teman-temannya yang lain dan ingin pergi sendiri. Abi merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tiba-tiba bulu-bulunya berdiri. Sesekali pria itu menggosok-gosok tengkuknya. Seperti ada yang aneh. Sesuatu seperti mengikuti dia sedari wudu tadi.

Sekilas Abi melihat bayangan hitam dengan tubuh jangkung lewat. Kecepatan itu sangat-sangat cepat, seperti sambaran kilat. Ini membuat Abi semakin merasa gemetaran. Jantungnya berdetak dua kali lipat. Ada apa di sana, tadi? Seperti bayangan orang jangkung yang lewat dengan cepat? Apakah tadi Pak Ustaz? Mengapa dia berlari begitu cepat?

Angin berhembus sangat lembut, membuat rambut Abi yang masih gondrong bergoyang-goyang. Abi merasa di belakang ada yang mengikuti. Pria itu menelan salivanya. Perlahan dia merotasikan kepalanya ke arah belakang. Semakin ke belakang. Dan kini dia benar-benar melihat belakang. Ternyata ada monyet berkepala manusia di belakang. Siapa lagi jika bukan si Damar?!

“HAHAHA! Kamu lagi apa sih di sini? Takut, ya? Kok tiba-tiba kayak kaget begitu!” seru Damar.

Abi kemudian menghela napas berat. “Kamu yang mengapa ke sini? Kamu mengagetkan saya saja!”

“Ah, ngaku aja kamu takut, kan? Aku dulu punya teman, namanya monyet. Mirip banget sama kamu ekspresi takutnya!” Damar agak terkekeh.

Abi hanya menatap Damar kesal. Hanya orang kurang kerjaan saja yang akan merespons si manusia berkepala monyet itu.

Lihat selengkapnya