Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #9

9. Persahabatan

Persahabatan selalu meyakini bahwa hubungan erat itu dimulai ketika hati yang keras kini mulai luluh. Ketika terjadi sebuah cinta maka kepercayaan dan ikatan antar teman dapat terjalin dengan kuat.

Abi, Ali, dan Damar adalah representasi persahabatan. Hubungan antar mereka terjalin dengan seringnya mereka bertemu, bercanda tawa, bersedih, dan berbagi nasib yang sama. Mereka memiliki visi misi yang berbeda, tetapi tidak untuk satu hal. Yaitu tujuan mereka untuk menjadi manusia yang lebih baik. Itu mungkin akan menjadi alasan mengapa terjadi persahabatan. Kerja sama, tolong menolong, dan memiliki budaya yang baik adalah contoh pendekatan yang sering digunakan.

Kini Abi, Damar, Ali, Dewa, dan Jonathan sedang berada di kelas. Tepat hari ini adalah hari kedua mereka memasuki masa SMA di sebuah Madrasah. Sebelum belajar, guru agama mengingatkan mereka untuk berdoa terlebih dahulu, setelahnya guru agama mengingatkan agar setoran hafalan juz 30 bisa segera diselesaikan di akhir semester.

Jam kemudian menunjukkan waktu istirahat. Kebetulan kelas sepi, tinggal tiga sampai empat orang anak. Sisanya ada Abi, Ali, Damar, Dewa, dan Jonathan yang tidak memutuskan untuk pergi ke kantin. Jona dan Dewa kemudian mendekati Ali, Abi, dan Damar di bangku depan.

Ali menatap Dewa curiga. “Ada apa ke sini? Mau suruh kami belikan kalian cirengnya Bu Surti?”

Dewa menggeleng, dia menolak dituduh seperti itu. “Aku enggak menemui kamu untuk itu. Hanya saja ... aku ingin meminta maaf!”

Damar yang sedang minum langsung menyemburkan air dari mulutnya. “Lololoh, enggak bahaya ta? Aku enggak salah dengar nih?”

Dewa mengangguk. “Enggak. Kamu enggak salah dengar! Aku sadar akan perbuatanku yang jelek kemarin-kemarin, terutama ... Abi!”

Abi kemudian mendelik. “Sa-saya?”

Dewa mendekat kepada Abi. “Sejak kejadian kemarin, kita rasanya harus saling bersatu. Bukan malah terpecah. Hantu itu aku rasa akan sangat kuat. Dengan bersatu, kita bisa melawan mereka-mereka yang tak terlihat!”

Abi mulai nanar. “Jadi kamu minta maaf karena teror hantu semalam? Kamu percaya hantu? Bagaimana bisa kamu percaya? Sebelum ini bahkan kamu memusuhi saya dan teman-teman saya yang lain. Kamu bahkan bersikap seperti penguasa.”

Dewa tersenyum. “Memang aku bersikap seperti itu sama kamu. Tapi untuk membasmi hantu itu—atau bahkan aku sudah tidak ingin bertemu dengan hantu itu lagi—kita butuh namanya persatuan. Saling menguatkan, bukan bersikap sok menjadi raja!”

Ali mendekati Abi, kemudian mengarahkan moncongnya ke kuping pria itu. Abi merasa Ali ingin membisikkan sesuatu. “Jangan percaya sama omongan mereka. Bisa jadi ini bagian dari rencana liciknya!”

“Allah Swt pernah berfirman di dalam Surat Al Hujarat ayat 12 yang artinya:“Wahai orang-orang yang beriman, Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” Jadi kita sebaiknya tidak boleh berburuk sangka, baik kepada manusia maupun Allah. Kita perlu perbaiki hubungan antar manusia dengan cinta dan kasih sayang,” jelas Abi panjang lebar.

“Ah, lo ceramah mulu! Lo kira gue enggak denger pembicaraan kalian? Begitu?” sahut Jonathan tajam.

“Aku juga mendengar pembicaraan kalian! Tolonglah, kalian juga pernah diajarkan adab berbisik, bukan? Itu kan perilaku yang enggak baik! Ketika ada lebih dari dua orang di sini, sebaiknya kita enggak boleh menyingkirkan orang ketiganya,” seru Dewa.

Damar menggaruk kepalanya nanar. “Eh Damar! Eh, maksudku Dewa! Kamu enggak apa-apa, kan? Kamu enggak kesurupan apel yang kemasukan cacing kremi, kan? Suhumu enggak sampai 100 derajat, kan?”

“Tau ah! Mendadak jadi bijak banget! Kamu enggak ada niat apa-apa, kan Dewa?” tanya Ali dengan muka serius.

Lihat selengkapnya