Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #11

11. Misteri Suara Merdu

Kini Abi terdiam di ranjangnya yang paling atas. Kakinya mengayun-ayun di bawah, kemudian sambil bersenandung. Pria itu menarik napas panjang, memikirkan kejadian baru-baru ini. Dia masih belum siap mati. Dia masih harus bertumbuh dan menjadi sukses kelak. Apakah teman-teman hanya berbohong? Apakah sebenarnya mereka hanya menakut-nakuti saya dan membuat saya kena prank? Tapi Ali dan Damar? Tidak mungkin mereka membuat saya ketakutan seperti ini?! Jika Dewa atau Jona yang mengatakan ini, saya bisa saja tidak mempercayainya. Tetapi ini Ali dan Damar, teman yang saya percaya.  Begitulah pikiran yang sedari tadi mengganggunya.

Abi menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Dia melihat Ali dan Damar sore ini melanjutkan bersih-bersih. Barusan saja mereka kembali dari pengajian bersama di musala. Mereka sepertinya tidak ingin mencuci pakaian sampai larut malam. Sedangkan Dewa dan Jona sedang beristirahat dari hari-hari yang melelahkan.

“Apa kamu masih memikirkan kejadian itu, Bi?” tanya Ali sembari memeras baju-bajunya di kamar mandi. Suara Ali terdengar sampai telinga Abi di luar. Namun Abi masih terdiam, memikirkan kejadian kemarin.

“Bagaimana saya tidak memikirkannya? Kamu membuat saya sangat takut!” seru Abi.

“Kamu tidak perlu takut ... i-ini hanya tebakan kami saja ....” balas Ali, kemudian berdiri dan menuju ke kamar mendekati Abi.

“Bagaimana jika itu benar? Semua pembicaraan kalian mengarahkan saya kepada sebuah kepercayaan. Saya datang ke sini, saya tidak mengerti apa-apa. Saya tidak mengerti bagaimana bentuk pondok ini sebelumnya, saya juga tidak tahu sejarahnya, saya juga tidak tahu seluk beluknya. Kalian semua yang tahu. Bagaimana saya tidak percaya?” tanya Abi, kemudian mengernyit heran.

“Kamu enggak perlu takut berlebihan seperti ini, Abi. Coba kamu katakan saja dengan jelas kepada Pak Naryo bahwa kamu menolak tawaran itu!” saran Ali, kemudian menampakkan senyumannya.

“Bagaimana saya bisa mengatakan itu! Saya tidak berani. Selain itu, saya pasti akan mengecewakannya. Beliau mempercayai saya dengan sepenuh hati. Jika saya menghancurkan kepercayaannya, beliau akan sedih. Kita juga belum tentu tahu kan niat apa yang sedang dijalankan oleh Pak Naryo. Jika niat itu bagus bagaimana? Allah selalu melarang kita untuk berburuk sangka, sedangkan kita sebagai manusia harus selalu berbaik sangka!” jelas panjang lebar Abi.

“Begitu polosnya kamu, Abi. Mencegah lebih baik daripada terlanjur! Iya kalau niat Pak Naryo baik, tapi kalau niat Pak Naryo jahat bagaimana? Bukankah kita harus waspada?” tanya Ali.

Abi menggelengkan kepalanya. “Saya sudah memutuskan. Saya tidak akan mengecewakan Pak Naryo! Saya akan tetap menjadi imam itu!”

“Lalu ... apa gunanya pembicaraan kita? Sia-sia saja! Aku hanya ingin memperingatkanmu. Dan aku hanya ingin menenangkanmu karena sedari tadi kamu terlihat murung. Aku kasihan sama kamu!” balas Ali, lidahnya berdecak.

Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Azan membuyarkan pembicaraan Abi dan Ali. Ternyata hari mulai gelap dan magrib pun telah tiba. Kini burung-burung akan pulang ke sangkarnya dan umat Muslim akan menjalankan salat magrib.

“Dan ini waktunya kamu menjadi imam ....” Ali mengingatkan.

Abi mengangguk. Segera setelahnya Dewa dan Jona langsung terbangun, kemudian Damar yang masih di kamar mandi membersihkan diri sebentar dan berganti baju. Setelah semua siap, barulah mereka turun menuju ke musala.

Mereka kemudian sampai di musala dan memutuskan wudu. Sebagai imam, kini Abi tidak boleh terlambat. Karena musala yang lumayan sempit, teman-teman Abi membantu menggelar tikar di luar musala. Untung saja lahan di depan musala masih luas sehingga masih bisa ditempati salat.

Lihat selengkapnya