Siang ini Abi, Ali, Damar, Dewa, dan Jona duduk di latar depan musala. Mereka masih saling diam. Dari raut wajahnya pucat pasi seperti memikirkan sesuatu. Mata Abi yang dulunya cerah, sekarang mulai menghitam.
Abi mengembuskan napas panjang. “Kalau teror terus terjadi, kita tidak akan menemukan kedamaian!”
Mata keempat teman yang lainnya menjadi saling tatap. Kali ini mereka setuju dengan Abi. Di cuaca terik ini mereka berani datang ke musala sebab Ustaz akan datang. Beliau memang sengaja dicegat oleh mereka sebab mereka sendiri ingin tahu kebenaran dari hantu musala yang selama ini meneror mereka.
“Abi benar, kita harus meminta bantuan Ustaz Zaki dalam hal ini. Aku yakin Ustaz Zaki pasti memiliki pengetahuan tentang hantu musala,” jawab Ali.
“Ta-tapi lo yakin Ustaz Zaki bakal jawab kita? Dia sendiri saja sepertinya tidak mencurigai apa-apa. Dia juga bagian dari pesantren ini. Lo yakin Ustaz Zaki mau ngejawab pertanyaan kita?” tanya Jonathan, kemudian menggaruk-garuk dagunya dan merasa sedikit ragu.
“Saya yakin Ustaz Zaki orang saleh. Saya sudah berkali-kali berbicara kepadamu, jangan berburuk sangka dengan orang lain. Namun kamu tetap saja tidak memedulikan ucapan saya!” balas Abi.
Jonathan meremas-remas tangannya, keluar uap panas dari hidungnya. “Lo kalau mikir orang positif terus, ya lo enggak bakal dapat penyelesaian. Lo bisa nggak sih nyaring yang positif sama yang negatif? Jangan bodoh jadi orang!”
Dewa kemudian menjulurkan satu tangannya, berusaha merangkul Jonathan dan memintanya bersabar. “Sudah, jangan emosi, Jo!”
“Bagaimana enggak emosi? Kutu rambut itu selalu bikin gue jengkel!” sahut cepat Jonathan. “Coba kalau Dewa enggak jadi baik, gue sudah ngebully lo sampai mati!”
“Sudah, Jonathan. Aku baik juga karena kesadaranku sendiri!” lerai Dewa.
Dari jauh Dewa seperti melihat seseorang berkopiah dan berjubah putih jalan ke arahnya. Tapak kakinya satu persatu mulai mendekat. Dia tersenyum, kemudian tetap fokus pandangannya ke depan.
“Ustaz Zaki datang!” seru Ali.