Siang ini matahari memancarkan suhu yang sangat panas. Jika bisa diprediksi, mungkin suhu bisa mencapai 38 derajat. Kini anak-anak sudah berada di kamar masing-masing, sebab salat zuhur sudah selesai.
Abi duduk di depan kamarnya. Di sana ada sebuah kursi panjang. Kursi itu bisa menampung lima orang sekaligus. Pria itu duduk di sana dengan wajah memutih, tampak gusar. Abi semakin memikirkan berbagai hal yang mengganggunya. Dia tidak bisa tidur sekarang padahal ini sudah masuk jam tidur siang.
Apakah saya benar-benar akan mati? Jelas saja! Teror-teror itu tidak bisa membuatku tenang. Cepat atau lambat saya juga pasti akan mati jika begini?! Abi berdebat dalam pikirannya.
Damar kemudian keluar dari kamarnya, kemudian tersenyum semringah kepada Abi. Wajahnya tak tampak ada permasalahan sama sekali.
“Ulululululu, bayik kenapaa?” tanya Damar, ingin menggoda. Namun Abi masih tidak ingin menjawabnya.
Ali kemudian keluar karena ingin mengikuti Damar tadi. Di sana Ali melihat Damar sedang ingin menghibur Abi. Ali tahu permasalahan yang Abi alami. Dan ini pasti akan sangat berat baginya.
“Abi, kamu masih di sini?” tanya Ali.
Ali dan Damar kemudian duduk di samping kanan dan kiri Abi. Mereka menatap Abi yang sedang gusar.
“Kamu masih memikirkan kejadian kemarin, ya? Tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa dengan kamu!” seru Ali, mencoba meyakinkan.
“Benar! Tidak akan terjadi apa-apa denganmu!” Dewa dan Jona tiba-tiba muncul dan menyahut pembicaraan mereka. Dewa meyakinkan bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan Abi. “Kita akan selidiki sekarang!”
Ali dan Damar saling melihat, kemudian Ali menggaruk kepalanya yang tak gatal. “A-apa?! Ada apa? Di mana? Di-di mana kita bisa selidiki itu. Susah sekali untuk masuk ke ruangan data atau ruang kantor.”
“Tidak susah. Kita hanya perlu menggiring mereka untuk keluar dari ruangannya, kemudian salah satu dari kita harus cepat mencari data-data yang kita butuhkan!” seru Dewa, kemudian tersenyum licik.
“Bagaimana kita bisa menggiring mereka? Sedangkan ...” Abi memulai pembicaraan, tetapi dia masih takut untuk melakukan itu. Keringatnya mulai menetes membasahi pipinya.
“Serahkan saja kepadaku!” sahut cepat Dewa.
“Kita harus cari berbagai bukti tentang sejarah pembangunan musala ini dan legenda hantu ini,” ujar Abi, kemudian mengangguk yakin.
Mereka berlima kemudian pergi ke kantor untuk menjalankan misinya. Di kantor data, untungnya hanya ada Pak Dita, selaku staf yang bertugas mengurus arsip dan data-data yang masuk sejak dibangunnya musala ini.
Dewa dan Jona kemudian menemui Pak Dita. Wajah mereka sengaja dibuat panik dan seakan-akan ada masalah sampai-sampai mereka mampu mengeluarkan keringat dengan sengaja.
Pak Dita mengernyit heran. “Ada apa kalian ke mari? Mengapa kalian begitu tegang dan gelisah?”
“I-itu, Pak! Di sana ada yang bertengkar! Terus yang satu lagi hampir bunuh diri!” seru Dewa dengan napas tersengal-sengal.
“Baik, mari tunjukkan jalannya!” pinta Pak Dita.