Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #15

15. Menemui Pak Naryo

Pikiran Abi kali ini sudah tak karuan. Jantungnya berdebar hebat. Hampir saja dia ketahuan tadi. Dia masih belum melupakan kejadian itu. Tiba-tiba saja teringat lagi. Untungnya mereka selamat.

Mereka telah keluar beberapa menit sebelum Pak Dita masuk kantornya lagi. Sedangkan posisi kantor masih berantakan. Untungnya saja dokumen-dokumen itu sudah mereka kembalikan di atas sana.

Kini Abi, Ali, Damar, Dewa, dan Jona berkumpul di kamarnya. Pembiasaan memasak yang dilakukan setiap siang sudah selesai. Ini membuka kesempatan mereka untuk berdiskusi terkait masalah tersebut.

“Bagaimana, apakah kamu menemukan petunjuk baru?” tanya Dewa kepada Abi.

Ali mengangguk. “Kita bukan hanya tertipu, tetapi juga sudah terjebak di sini!”

“Ma-maksudnya?” tanya Dewa sekali lagi. Kali ini dia mencondongkan kepalanya, terlihat antusias.

“Kita menemukan satu koran yang isinya sama-sama membahas tentang hantu musala. Dan itu sangat persis dengan apa yang menjadi isi dari majalah yang kita punya,” jelas Abi.

Ali menyahut, “Di masa lalu, ada lima mahasiswa KKN. Mereka KKN karena ingin mengajarkan pengetahuan agama kembali kepada desa yang tidak percaya Tuhan. Namun mereka malah dibunuh, digorok, sampai dimutilasi. Warga desa seakan-akan tidak pernah bersalah karena persekutuannya itu!”

“Persekutuan?” Alis Jonathan terangkat.

“Ya. Persekutuan dengan setan. Pada tahun 2005, terjadi penebangan pohon tua dan keramat di desa mereka. Pohon itu rencananya akan ditumbangkan sebab lahan itu nantinya akan dibangun sebuah musala. Namun setelah pohon itu ditebang, banjir rob muncul. Menciptakan bencana terbesar dalam sejarah mereka. Warga desa kelaparan dan beberapa di antaranya meninggal. Sedangkan kepala desa tidak tahu solusi apa yang harus dia lakukan. Akhirnya kepala desa mencoba persekutuannya dengan jin. Dari situ, lahirlah sebuah jin yang menetap dalam musala. Jin itu dinamakan hantu musala,” jelas Ali panjang lebar.

“Jadi ... apakah itu asal usul mereka? Aku baru mengetahuinya!” seru Dewa.

Abi mengangguk. “Sekarang kita harus mencari Pak Naryo, pemilik pondok pesantren ini dan bertanya padanya. Kita perlu kesaksian dia!”

Keempat teman lainnya pun setuju. Mereka akhirnya memutuskan pergi ke kantor Pak Naryo. Di perjalanannya, mereka masih berbincang-bincang. Mereka bahkan tidak peduli kegiatan apa yang akan dilakukan pondok pesantren sore ini.

Kini mereka tiba di kantor Pak Naryo. Perlahan Abi membuka pintu kantornya. Suaranya berdecit, terdengar ke arah telinga Pak Naryo.

“Masuk!” seru Pak Naryo.

Dengan perlahan, kelimanya langsung menemui Pak Naryo. Beliau sedang duduk, sibuk menandatangani sebuah dokumen.

Lihat selengkapnya