Bintang-bintang kini tersebar, berkedip-kedip membuat dunia seakan diterangi. Kini yang muncul hanyalah suara kedasih yang nyaring dan terkadang membuat orang-orang merasa takut. Udara dingin pun menyelimuti seisi pesantren, membuat beberapa orang harus mengenakan selimut agar tidak kedinginan.
Sementara kelima santri itu masih berada di kamarnya setelah menyelesaikan setoran hafalan di musala tadi. Mereka semua masih terdiam di sana, memikirkan nasib apa yang terjadi selanjutnya.
Mereka masih memikirkan kasus tadi. Di mana Pak Naryo tidak mau mengakui dan menceritakan sejarah pesantren ini. Tentu mereka takut jika nantinya terjadi apa-apa. Terutama nasib Abi. Aisyah dan Fajar mengirim Abi dengan harapan agar anaknya tumbuh dengan keimanan yang kuat. Namun jika Abi mati nantinya, tentu Abi tidak akan menyelesaikan harapan kedua orang tuanya.
“Sepertinya Pak Naryo berbohong! Kita semua dibohongi. Tidak mungkin Pak Naryo tidak tahu asal usul pembangunan pesantren ini!” seru Dewa.
“Sabar, Dewa. Kita bisa pikirkan solusi lain untuk masalah ini. Jangan cepat marah. Allah tidak menyukai orang yang cepat marah dan tidak mau berpikir jernih,” balas Abi, mencoba meyakinkan Dewa.
“Tapi Abi, pria itu sudah keterlaluan. Kemarin perasaan dia bilang kalau seakan-akan percaya adanya hantu musala. Terus beberapa lama dia berubah pikiran, seperti tidak tahu dan tidak percaya adanya hantu itu!” seru Dewa.
“Mungkin kasusnya kayak punya gue. Gue kan dulu enggak percaya hantu musala, ya. Sekarang gue percaya karena gue bisa lihat sendiri. Mungkin Pak Naryo harus lihat sendiri hantu itu, baru percaya!” sahut Jonathan.
Ali menghela, “Tapi hantu itu tidak mungkin langsung muncul di hadapan Pak Naryo. Dan setelah kejadian ini, Pak Naryo tidak akan mungkin mau kita ajak ke musala. Lagi pula belum tentu hantu itu mau muncul jika ada Pak Naryo. Di sana kita hanya akan menjadi bual-bualan saja.”
Abi mengangguk setuju. “Kamu benar, Ali. Sekarang kita perlu rencana baru agar minimal hantu tersebut tidak menghantui kita lagi.”
Mata Ali melebar, membuahkan satu ide. “Bagaimana jika kita lawan mereka saja? Dengan melawan, kita pasti bisa mendesak hantu itu.”
Abi menggaruk kepalanya. “Melawan? Dengan cara apa?”
“Malam ini kita harus menginap di musala itu!” seru Ali, disusul mata teman-temannya yang membesar.
“HAH?”
Ali mengangguk. “Iya, cara ini pasti akan lebih ampuh, mengingat ketika kita kabur dan menghindar, kita malah enggak dapat apa-apa.”