Hantu Musala: Pesta Mutilasi

Lasmana Fajar Hapriyanto
Chapter #17

17. Sejarah Pembangunan Pesantren

Kelima santri itu kemudian menempatkan dirinya berada di dimensi ilusi. Dimensi ini adalah dimensi alam bawah sadar, di mana semua pikiran dikendalikan oleh yang membuat pikiran ini.

Abi kemudian mulai membuka matanya. Tangannya terjulur menyentuh kening yang pusing. Rasanya tadi seperti diputar-putar, tak tentu arah. Abi tidak sendiri. Ali dan Damar kemudian mulai sadar juga, ditambah Dewa dan Jonathan. Sama seperti perilaku Abi, mereka semua juga merasa nanar dengan tempat ini.

“Tempat apa ini?” Dewa kemudian berdiri, dia melihat lingkungan sekitarnya.

“Dan ... di mana kita? Bukankah seharusnya kita masih ada di musala?!”  tanya Ali.

Abi menyahut, “Saya rasa sekarang kita sudah di musala!”

Mendengar perkataan Abi, yang lainnya langsung nanar. Abi kemudian menunjuk bagian mihrab imam di depan. Kebetulan teman-temannya tadi memang tidak tampak bahwa ternyata ada mihrab imam di sana.

“Mihrab imam? Bagaimana musala ini dapat mirip dengan musala pesantren kita? Tetapi jika dilihat dari strukturnya ... ini bangunan lama! Lihat saja bagaimana debu menempel pada kaca-kaca musala itu!” seru Ali, kemudian menunjuk beberapa kaca yang dipenuhi debu.

“Kamu benar Ali! Saya dengan penglihatan saya, langsung bisa merasakan sesuatu. Ada yang aneh dengan musala ini. Musala ini terlihat mirip dengan musala di pesantren. Logikanya saja, berarti musala ini lebih dulu dibangun daripada musala di pesantren. Musala di pesantren kita hanyalah musala yang direnovasi belaka,” jelas panjang lebar Abi.

“Apa yang lo katakan benar, Bi! Secara logika perkataanmu itu tepat. Kemungkinan ini adalah musala yang sama, tapi beda tahun saja!” sahut Jonathan.

Kaki mereka kemudian lemas, mereka seperti melayang dan tidak jatuh. Mereka seperti kehilangan kendali atas kaki sendiri. Tiba-tiba kaki itu membawa mereka maju dan berjalan terus. Mereka tampak nanar, sebab ini datang secara tiba-tiba. Mereka baru saja merasakan bagaimana melayang seumur hidupnya.

Kini mereka dibawa menuju ke luar musala. Di luar musala tidak ada apa-apa, melainkan hanya rumah-rumah warga. Mereka kemudian diseret menuju dekat gapura desa. Di sana ada satu rumah. Entah mengapa rumah itu sangat ramai.

Dari luar tercium bau amis yang menusuk hidung kelimanya. Entah itu bau apa. Seperti bau darah segar atau ... ikan? Mereka tidak bisa memprediksi. Mereka juga tidak bisa melihat dengan jelas karena warga yang menutupi.

“Ada apa ini? Mengapa kita bisa bergerak sendiri di sini?” tanya Dewa.

“Kita akan diperlihatkan sesuatu!” seru Abi.

Kelimanya kemudian tergerak kembali, menembus kerumunan itu seperti hantu. Seakan-akan raga dengan entengnya masuk begitu saja.

Lihat selengkapnya