Kini matahari telah memutuskan bersembunyi. Tidak ada suara, melainkan hanyalah keheningan. Udara pun telah memasuki fase yang sedang dingin, membuat beberapa orang menggigil tiada henti. Setidaknya akan ada beberapa diskusi malam ini. Seperti yang kita tahu, kelima santri itu telah melewati berbagai macam cobaan, terutama terungkapnya Pak Naryo sebagai dalang munculnya hantu musala.
“Jika kita ingin bertindak, kita harus merencanakan sesuatu!” seru Dewa dengan matanya yang berapi-api.
Abi mengangguk setuju. “Kamu benar, Dewa! Pak Naryo tidak bisa kita biarkan begitu saja. Saya takut ... saya takut terjadi apa-apa dengan saya. Pasti Pak Naryo sudah merencanakan banyak hal terhadap saya!”
“Kita harus punya rencana dasar. Setidaknya kita harus lakukan sesuatu terlebih dahulu. Setelah itu barulah kita merencanakan rencana selanjutnya. Tidak mungkin kan kita terus-terusan berada di pesantren menyeramkan ini? Bagaimana aku fokus sekolah jika aku terus-terusan diteror ketakutan yang berasal dari hantu musala tersebut.” Rupanya Ali juga setuju dengan pendapat dari Dewa.
Mata Abi langsung melebar, membulatkan sebuah ide. “Saya tahu! Lakukan i’tikaf saja. Bagaimana jika kita lakukan malam ini?”
Mata Jonathan langsung melebar mendengar ide Abi itu. “Lo gila, ya? Lo cari mati apa? Lo mau ke musala itu malam-malam lagi? Lo enggak tahu kah akibat dari kita melakukan segala sesuatunya malam-malam?!”
Abi menggelengkan kepalanya. “Tidak ... tidak Jona! Pahami dulu apa maksud dari ide saya. Saya ingin berdoa di musala, sambil menghilangkan aura negatif.”
“Terus lo enggak mikir risikonya? Lo tahu kan akhir-akhir ini gimana? Dan lo masih berani ke musala?!” sahut Jonathan. “Lo sama aja mencari maut!”
“Akhir-akhir ini ... kita justru mendapat petunjuk di musala. Semakin kita kejar, semakin banyak informasi yang akan kita dapatkan,” timpal Abi, kemudian tersenyum kepada Jonathan.
“Senyum-senyum aja lo! Gue normal,” ketus Jona. “Pokoknya gue enggak setuju rencana itu. Lo tahu kan kalau kita enggak akan bisa menebak hal yang terjadi. Lo bilang sendiri kalau ada dua jenis hantu. Hantu baik dan hantu jahat. Syukur-syukur kemarin ketemunya hantu baik. Kalau hantu jahat gimana? Mau enggak lo tanggung jawab atas kematianku nanti?”
“Jona, jangan bicara seperti itu. Hidup dan mati ditangan Allah. Siapa tahu saya yang mati dulu. Kita tidak tahu takdir apa yang Allah rencanakan, Jona. Masalah ada hantu jahat dan hantu baik, memang benar semuanya ada. Tetapi alangkah baiknya kita selalu berbaik sangka kepada orang lain!” debat Abi.
“Ceramah lo enggak mau ganti gitu? Perasaan lo bilang berbaik sangka terus sepanjang hari. Kita berbaik sangka itu memang perlu, tetapi lihat situasinya dong! Kalau situasinya enggak meyakinkan, ya lo enggak usah sok-sokan berbaik sangka deh!” cibir Jonathan.
“Apa yang dikatakan Abi itu ada benarnya, Jona!” sahut Dewa.
Jonathan mengernyit heran. “Hah? Dewa, lo—“