Daun-daun kering mulai terlepas dari tangkainya. Angin kencang itu menemani kereta jawa yang sedang dibopong oleh beberapa orang, termasuk paman Jonathan. Kasihan sekali nasibnya. Orang tua Jonathan sejak kecil memang sudah bercerai. Keduanya pun memutuskan untuk pergi dan tak pernah kembali lagi. Jonathan hanyalah korban kerasnya hidup, sampai-sampai pamannya itu sudah tidak mau mengurus dia lagi dan memutuskan untuk membuat Jonathan tinggal di pesantren.
Abi, Damar, Ali, dan Dewa datang ke rumah Jonathan dengan mobil milik pesantren. Mereka diutamakan sebab mereka adalah teman sekamar Jonathan. Tidak ada yang tahu bagaimana kesedihan mereka. Yang pasti itu sangat perih. Tak pernah terbayangkan bahwa Jonathan akan meninggal dengan sangat tragis.
Tubuh Jonathan sampai sekarang belum ditemukan. Paman Jonathan pun tidak ingin melakukan penyelidikan sebab dia merasa tidak bertanggung jawab atas Jonathan. Sedari Jonathan ditinggalkan begitu saja, pamannya itu merasa dendam dan tidak ingin merawat anak itu. Bahkan dia sudah memberikan biaya pesantren saja sudah lebih dari cukup. Dia tidak ingin memikirkan biaya yang lain. Apalagi sang paman juga belum menikah maka tidak ada yang paham cara mengurus anak di rumah.
Kepergian Jonathan diiringi oleh lambaian rerumputan yang seakan menyapanya ketika memasuki pemakaman. Seakan rumput itu menyambut Jonathan dengan senang hati agar dia bisa beristirahat dengan tenang. Tanah-tanah pun terlihat lunak, tidak terlihat akan adanya kesulitan dalam menguburkannya.
Lokasi pesantren ini adalah lokasi yang minim warga. Bahkan bisa diperkirakan hanya sekitar 11 kepala keluarga saja yang tinggal di desa itu. Tidak ada kantor kepala desa maupun tidak ada kantor polisi. Semuanya berada di pusat kecamatan dan di daerah dengan lokasi ramai penduduk.
Kereta Jonathan kini sudah tiba di tempat makamnya. Terlihat tanah itu sudah digali sedemikian rupa untuk menguburkan jasadnya. Pemakaman Jonathan disambut oleh tangisan teman-temannya. Abi gemetar, tidak menyangka Jonathan akan pergi. Dia ingin mengeluarkan air mata, tetapi tertahan karena dia ingin melihat Jonathan bahagia dan terlepas dari semua beban dunia.
Dewa pun sama. Teman dekatnya itu hanya terdiam sepanjang pemakaman. Dia hanya melihat bagaimana tubuh Jonathan dimasukkan ke dalam liang lahat. Apa mau dikata, Dewa tidak akan bisa mengucap satu kata pun. Semua tangisnya sudah tumpah semenjak kematian sahabatnya.
Jonathan, jika kamu bisa hidup lebih lama lagi, aku sudah merencanakan berbagai hal untuk hidupmu. Setelah lulus nanti, kita akan bersama-sama terus. Bermain, bekerja, kemudian bercanda tawa. Kamu juga bisa kok tinggal di rumahku. Tapi takdir berkata lain. Kamu malah pergi. Kamu jahat banget ya, Jo! Padahal rencana kita lebih banyak dan ternyata rencana Tuhan enggak bisa ditebak.