Aisyah mengambil satu cangkir gelas, kemudian menuangkan air ke dalam gelas tersebut menggunakan ceret hijau miliknya. Aisyah sempat berpikir, bagaimana keadaan anaknya sekarang ini. Apakah dia baik-baik saja? Maklum, Aisyah jarang menghubungi pihak pesantren sebab Aisyah ingin anaknya itu mandiri.
Aisyah membawa cangkir itu sembari berjalan ke arah ruang keluarga. Di sana sudah ada suaminya, Fajar. Suami Aisyah meminta Aisyah agar segera duduk. Dia hari ini sedang menonton siaran televisi ajang pencarian bakat penyanyi POP Indonesia favoritnya. Fajar berharap Aisyah mau menemaninya.
Aisyah kemudian tersenyum, merasa peka dengan suaminya. Dia duduk dan menemani suaminya itu menonton televisi di malam ini. Cukup melelehkan, sebab Fajar juga membutuhkan beberapa hiburan, walaupun dia harus melawan rasa kantuknya sekarang.
“Aisyah, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Fajar, agak khawatir.
Aisyah tersenyum, kemudian menyeruput secangkir air mineral terlebih dahulu dari cangkirnya itu. “Ah, kamu masih ingat betapa senangnya saat saya melahirkan anak kita?”
Fajar mengangguk. “Kamu sangat senang sekali dan kamu sedikit merasa khawatir sebelum Abi dilahirkan.”
Aisyah tersenyum manis. “Seperti itulah perasaan seorang ibu. Ada rasa khawatir yang tidak bisa saya ungkap. Bisa saja saya memberitahukan kamu bahwa saya merasa sangat khawatir. Namun saya tidak ingin merepotkan kamu. Kamu sudah berbuat banyak demi keluarga yang harmonis ini, Sayang! Kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah hilang walau waktu merenggutnya sekalipun. Itulah ibu. Kasih sayangnya ikhlas kepada anak-anaknya. Ibu mana yang tidak khawatir ketika anaknya berjuang sendirian di sana dan saya masih menikmati segelas air mineral di tempat yang nyaman.”
“Kamu benar, Aisyah. Aku ... sebenarnya mulai khawatir tentang berbagai macam berita yang akhir-akhir ini muncul ....” Fajar menundukkan pandangannya, belum mampu berbicara kepada Aisyah secara empat mata.
“Berita apa, Sayang? Apakah anak kita baik-baik saja? Apakah ada hal yang terjadi baru-baru ini?” Aisyah bertanya dengan tenang, mencoba menurunkan tempo suaranya walau sejujurnya dia sangat khawatir.
“Kamu ingat Jonathan?” tanya Fajar sembari mengernyitkan dahinya.
Aisyah terdiam, mencoba mengingatnya. “Ah, saya ingat! Dia ... anak yang waktu itu—“
Aisyah belum selesai menyelesaikan pembicaraannya, tetapi sudah diputus oleh Fajar. “Dia meninggal!”