Tok ... Tok ... Tok ...
Terdengar tiga kali ketukan pintu dari luar kamar. Damar agak terganggu karena ketukan itu terdengar lebih keras daripada biasanya. Pria itu kemudian mencoba membuka matanya. Namun dia tidak sanggup berdiri karena kantuk telah mengalahkannya.
Damar memanggil nama Abi dengan nada payah. Dia sangat mengantuk, tidak sanggup dengan keras memanggil nama sahabatnya itu.
“Bi ... a-ada suara itu ... keluar dulu sana! Aku ngantuk banget ....” Damar mengatakan itu sambil menarik urat-urat ototnya agar lentur.
Abi yang tidur di ranjang atas langsung tersadar. Dia mendengar suara itu. Suara Damar. Dan beberapa kali suara ketukan pintu.
Perlahan Abi membuka matanya, melihat plafon putih di atas sana. Abi yang masih belum sepenuhnya sadar mencoba bangun dari ranjangnya. “Ketukan siapa sih malam-malam? Kok aneh sekali!”
Dengan berpegangan pada kayu-kayu tangga, Abi turun perlahan. Dia sekilas melihat Damar dan Ali masih tidur dengan enaknya. “Kebiasaan!”
Abi menggerutu. Bagaimana tidak? Siapa yang jam malam-malam begini rela membangunkan orang yang sudah tidur nyenyak di kasur.
Abi menyentuh gagang pintu kamar. Perlahan pintu terbuka, membuat suara decitannya nyaring. Mata Abi agak membesar setelah melihat seseorang yang ada di depannya. Wajah yang mulai keriput itu sudah tak asing bagi Abi.
“Pa-Pak Naryo?!” Abi melihat Pak Naryo lekat, sedangkan Pak Naryo hanya memancarkan senyumnya.
“Abi, kamu belum tidur, Nak?” tanya Pak Naryo.
“Belum. Ada apa, Bapak? Apakah ada hal yang perlu saya bantu? Mengapa Bapak datang larut malam seperti ini?”
“Oh, tidak Anakku! Bapak hanya ingin menawarkan sesuatu padamu!” Pak Naryo menyodorkan satu lembar poster dengan dominasi warna kuning. Segera Abi menerimanya.
Abi menggaruk kepalanya nanar. Poster apakah ini? Seperti poster perlombaan ....
“Lomba Esai Bahasa Indonesia,” tutur Abi dengan suara perlahan. “Wah, saya suka banget esai!”
“Ssstttt! Jangan keras-keras, nanti yang lain bangun! Emm ... ada syaratnya jika kamu ingin ikut esai. Kamu bisa melengkapi syarat-syaratnya?” Pak Naryo merasa agak ketakutan, matanya melirik kanan kiri karena takut ada yang dengar.
“Syaratnya ... apa?” tanya Abi nanar, mukanya kini berbinar.