Pak Naryo memegang sebuah pisau yang penuh darah. Di tangan dia juga masih ada sisa-sisa darah yang kental. Pak Naryo suka mencium aroma amis darah itu. Dia kemudian mendekatkan pisau tersebut ke arah leher seseorang di depannya.
“Tolong!” pekik pria yang tersandra tersebut.
Pria itu sangat berkeringat begitu pisau tersebut sampai menempel di lehernya. Matanya melotot, memerhatikan pisau itu agar jangan sampai membelah urat nadinya. Dadanya langsung bergetar hebat. Tidak pernah dia merasakan ini sebelumnya.
Pak Naryo terkekeh, “Haha, kematianmu akan semakin dekat!”
Perlahan, Pak Naryo menggoreskan sebuah luka sayatan dengan pisau yang digunakan tadi di leher pria tersebut. Dengan cepat darah langsung menyembur membasahi wajah Pak Naryo yang masih tersenyum sadis. Sesekali Pak Naryo mengisap darah tersebut sampai merasakan rasa asin darah yang sangat unik.
Pria itu memekik kesakitan. Teriakannya kencang, membuat seluruh orang yang ada di dalam kamar terfokus pada kekejian itu. Namun di balik itu, mereka senang akhirnya nanti malam bisa makan daging manusia lagi.
“Itu akibat jika kalian tidak menuruti perintahku!” seru Pak Naryo. Matanya langsung menuju ke arah remaja yang juga digantung di tempat bersebelahan.
Pak Naryo mendekat ke arah remaja tersebut. “Kau pilih direbus hidup-hidup atau digorok sampai mati?”
“Sa-saya ....”
Abi melihat pria yang telah dibunuh tersebut diturunkan. Satu algojo datang dan membawa kapak besar karatan yang tidak pernah dibersihkan. Di kapak itu masih tersisa darah-darah yang sudah mengering. Segera pria yang sudah tak bernyawa tersebut dibaringkan di lantai. Algojo tengah bersiap. Kapak itu kemudian di angkat dan dengan cepat memenggal kepala pria itu.
“Eh anak kecil, setelah ini nasibmu akan sama seperti dia!” seru Algojo tersebut.