Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?

lina sellin
Chapter #1

#1 Malam Penentu

Di lantai kamar sempit, tempat biasanya aku dan ibuku beristirahat, aku merebahkan badan, sementara ibuku di atas kasur busa tipis di kamar yang sama juga berbaring, seolah aku mendesak Ibu agar bisa menguliahkanku seperti halnya teman-temanku.

“Bu, Ayu pengen kuliah.” Entah ada keberanian semacam apa pada malam ini yang merasuk ke dalam diriku, sampai berani mengutarakan mimpiku. Padahal sebelum-sebelumnya, aku sama sekali tak pernah berani menyampaikan keinginanku. Seingatku, terakhir kali aku meminta agar Ibu mengabulkan keinginanku adalah saat aku duduk di bangku kelas 5 SD. Saat itu aku menangis merengek supaya Ibu membelikanku baju lebaran karena semua teman-temanku sudah pamer baju barunya, sementara waktu lebaran tinggal dua hari lagi. Maka, tangisku pecah, dan aku menghilangkan akal sehatku untuk mendapatkan apa yang aku mau dengan menangis meronta-ronta sembari mogok makan setelah seharian penuh berpuasa.

Ibuku diam. Tanpa suara.

Kulirik sekilas ke atas cermin kecil yang menempel di dinding kamarku. Dari sana, aktivitas di atas ranjang ibuku bisa terlihat. Namun, ibuku masih saja diam. Matanya seolah sedang menerawang jauh entah ke mana.

“Bu,” lanjutku berusaha membuyarkan lamunan Ibu. “Ayu bisa kuliah kan Bu?” Tanyaku melanjutkan. Tapi, suara Ibu belum juga keluar. Ibu seperti sedang menggendong jutaan kilogram beban di pundaknya yang kian hari kian rapuh.

“Jangan neko-neko, Ayu!” Sebuah suara tiba-tiba menyembul menyibak tirai penutup pintu kamarku. Kulihat itu Bapak. “Kuliah itu cuma buat orang-orang kaya. Buat orang-orang yang hartanya udah gak muat di kantong. Orang kayak kita mana mungkin bisa sampai ke sana. Apalagi kamu cuma wong wadon (perempuan),” lanjut Bapak, seketika meruntuhkan istana mimpi yang selama ini aku bangun. “Jangan kebawa sinetron!” Katanya, lalu duduk di depan pintu kamar sembari menyeruput teh pahitnya.

“Kalau mau kuliah, paling kerja dulu, Nok,” sebuah suara lagi-lagi muncul dari arah pintu. Kang Muh, kakakku yang paling tua tiba-tiba ikut nimbrung.

“Yaelah, kerja di sini mau berapa taun? Apalagi cuma lulusan SMA,” lagi, sebuah suara muncul. Kang Pat, kakak perempuanku yang baru beberapa hari pulang kerja dari Jakarta pun ikut mengomentari. Di Cirebon, semua kakak memang dipanggil Kang, baik laki-laki maupun perempuan.

Lihat selengkapnya