Malam Pertama di Penampungan
Aku tiba di ibu kota pukul 2 dini hari, setelah kurang lebih empat jam berada di dalam bus penuh sesak berisi calon tenaga kerja asing. Masing-masing dari kami tak banyak bicara satu sama lain, seolah sedang sibuk sendiri memikirkan mimpinya. Kalaupun pada akhirnya bertemu mata, kami hanya saling sapa ringan melalui senyum, dan ini biasa dilakukan di kampung kami.
Suasana di Jakarta kulihat begitu lengang, pun saat berada di sepanjang perjalanan, Cirebon-Jakarta, nyaris tak seperti yang diberitakan banyak stasiun TV yang hampir selalu memotret suasana kerasnya ibu kota dengan pemandangan macet di mana-mana. Maka saat kakiku menuruni tangga bus tepat di halaman sebuah bangunan yang mirip gudang, aku bertanya-tanya dalam hati, Benarkah ini Jakarta? Bukankah ibu kota identik dengan bangunan mewah lagi megah seperti yang ada di sinetron-sinetron kesukaan para ibu-ibu di kampungku?
“Ayo, masuk!” Sebuah suara mengagetkanku dari arah belakang sembari mendorongku cukup keras. Aku yang baru pertama kali hendak terjun ke dunia kerja merasa bahwa tindakan ini tidaklah sopan, dan lebih tepatnya tak manusiawi. Maka, aku pun mengibaskan tangannya begitu saja, tanpa berpikir panjang akan apa akibatnya kelak, dan eits, memangnya siapa dia?
Betul saja, belum juga lima menit, dia meresponsku. “Eh, bocah! Maksud lo apa? Gue suruh lo buruan masuk, biar gak kena razia! Bego!” Laki-laki bertubuh kekar itu melemparku dengan sebuah botol air minum yang masih terisi penuh dan mengenai tanganku. Dug! Sontak mataku membelalak karena kaget dan juga sakit. Aku yang mau membalas tindakannya ternyata dilihat seorang perempuan yang kukira usianya tak jauh berbeda dari usiaku, calon tenaga kerja asing lain, yang juga ikut rombongan busku. Belakangan, aku tahu kalau ia bernama Kokom. Kutebak dia bukan berasal dari kampungku, sebab aku sama sekali belum pernah melihatnya. “Wis, wis, wis. Aja ribut ning kene. Yuk masuk.” Sudah, sudah, sudah. Jangan rebut di sini. Ayo, masuk. Kokom berusaha mendinginkan suasana hatiku, dan menarik lenganku untuk segera memasuki sebuah pintu gerbang besar, yang kuduga sebagai satu-satunya jalan masuk untuk menuju bangunan yang disebut penampungan. Rasa kantuk yang sedari tadi kutahan mendadak seketika hilang, dan aku begitu saja menurut pada saran perempuan bertubuh gembil dan pendek itu.
***
“Ibu-Ibu,” laki-laki yang tadi sempat ribut denganku berdiri di hadapan semua penumpang bus yang baru saja tiba setelah sebelumnya kami diminta untuk berbaris di halaman penampungan.
“Ini adalah penampungan PT Antasena. Sebelum Ibu-Ibu masuk ke dalam, saya akan memberitahukan sedikit peraturan yang sangat penting untuk diperhatikan dan diingat supaya Ibu-Ibu nanti bisa betul-betul mewujudkan cita-cita Ibu-Ibu untuk pergi bekerja di luar negeri.”
“Cita-cita kok kerja,” aku menimpali dengan suara sepelan mungkin, berharap hanya akulah yang mendengar jeritan amarahku padanya.