Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?

lina sellin
Chapter #6

#6 Pemandu?

Hari ke-1 di Penampungan

Hari ini aku merasa waktu berjalan begitu lambat. Sedari tadi aku duduk di musala sepertinya jarum jam tak bergerak, masih saja di angka 6. Aku bolak-balik memandanginya, siapa tahu bisa segera berubah dan mendapat kabar terkait tempatku di penampungan ini. Tapi, sepertinya memang waktu pada hari ini benar-benar berhenti. Aku pun mendekati jam dinding yang tampak sudah karatan dan kotor, Jarum detiknya masih bergerak, gerutuku pelan. Kulirik Kokom yang tepat berada di sampingku, dan dia sepertinya masih tertidur pulas.

Tak mau terus menghitung detik, aku pun bergegas keluar dan duduk di teras musala. Kulihat orang berlalu lalang keluar dari sebuah pintu kecil yang membatasi sebuah bangunan besar dan halamannya, tapi tak seorang pun keluar dari pintu gerbang yang tadi aku masuk melaluinya. Pintu gerbang panjang berwarna hitam itu pun dalam kondisi tertutup rapat, dan hanya dikerubungi ibu-ibu, tengah asyik berbelanja dari balik pintu itu. Mereka bertransaksi hanya melalui celah lubang kecil itu? Tanyaku heran.

“Bu, permisi,” aku menyapa seorang ibu yang memakai kaus panjang dan celana legging gombrong yang sedang berlari menuju celah pintu gerbang itu. Kulihat di tangannya ia menjinjing dompet kecil dan kumal.

“Ibu mau belanja di sana?” Tanyaku sambil menunjuk pintu gerbang yang dikerumuni banyak orang, sementara di sisi sebelahnya terdapat banyak penjual berjejer ramai sembari menawarkan dagangannya.

“Anak baru, ya?” Tanya perempuan itu menebakku.

Belum juga aku sempat membalas, ibu itu melanjutkan, “Iya, mau belanja. Peraturan di sini, kita gak boleh keluar dari pintu itu,” terangnya sambil menunjuk pintu gerbang.

“Kalau keluar dari sana, bisa mattteee,” lanjutnya sambil mengarahkan tangannya ke leher lalu berlalu pergi meninggalkanku, sementara aku terbengong melihatnya. Benarkah?

“Bu Sri Rahayu?” Sebuah suara ibu paruh baya menghampiriku, sementara aku masih berdiri mematung memperhatikan ibu-ibu yang super duper berisik menawar barang-barang yang mau dibeli, persis seperti suara lalat berhamburan di telingaku.

“Ya, saya Bu,” jawabku singkat sembari mendekatinya.

Lihat selengkapnya