Hari ke-3 di Penampungan
Setelah tiga hari di penampungan tanpa mandi, kurasakan rambutku mulai lepek. Kulitku mulai gatal-gatal. Ketiakku menguarkan bau tak sedap seperti aroma bunga bangkai. Aku sungguh tersiksa dibuatnya. Kulihat Kokom juga mengalami hal serupa. Berkali-kali aku mencuri pandang kepadanya, dan kulihat dia sedang menggaruk-garuk badan. Maka, akhirnya, kami sepakat untuk mencoba mandi.
Ego kami untuk menahan diri tidak mandi lantaran males mengantre dan bertemu berjubel orang dengan berpakaian pendek, bahkan separuh telanjang, juga tak kuasa kalau harus telanjang bersama orang lain dan berbagi kamar mandi umum yang sama, pada akhirnya berhasil kami singkirkan. Kokom yang tadinya menolak, beruntung mau luluh dengan rayuan mautku.
“Kom, kayaknya kita emang harus mandi, deh.”
Kokom membuka mulutnya lebar-lebar. “Iyaaa,” jawabnya bersemangat sembari mengerdikkan bulu matanya yang lentik. Dia memang berasal dari kampung. Tapi begitu melihat matanya, siapa pun pasti tak akan menyangka kalau dia berasal dari kampung. Bulu matanya lentik. Warna kulitnya tidak sawo matang seperti warna kulit khas orang-orang kampung sepertiku. Warna kulitnya cenderung lebih gelap, tetapi tetap manis. Badannya juga tinggi semampai. Rambutnya hitam lekat panjang sebahu. Pipinya juga selalu merona, lantaran selalu dibarengi senyum yang selalu merekah. Dia kalem, tetapi kadang, seperti anak kecil. Menangis, manja, dan sering ketakutan.
Kami pun lalu menggugurkan niat awal kami untuk tidak mandi selama berada di sana. Kemudian, kami memulai mencari cara dan menyusun strategi agar bisa kembali menyentuh air sepenuhnya secara merdeka. Tidak hanya membasuh area pantat pasca buang air kecil maupun besar, yang karena terpaksa, atau juga hanya sekadar membasuh muka dan area badan yang perlu dibasuh karena mengambil wudu menjelang salat. Aku ingin merdeka menggunakan air dengan gagah berani.
Rencana pertama kami adalah bangun sedini mungkin. Pukul satu malam. Atau paling telat pukul dua malam. Bukan tanpa alasan kami memilih waktu sedini mungkin itu. Sebab pernah suatu malam, saat aku kebelet pipis dan bangun pukul tiga malam lalu bergegas ke kamar mandi dengan mengajak Kokom, ternyata area kamar mandi sudah penuh orang mengantre. Sial! Hanya untuk pipis saja butuh waktu dua jam. Begitu salat Subuh berjamaah di musala bubar, saat itu pula aku baru mendapat giliran kamar mandi. Dan karena beberapa menit lagi akan dimulai kelas pelatihan yang padat merayap, maka aku pun memutuskan untuk meninggalkan kamar mandi begitu saja, sesaat setelah hajat kami selesai. Tak sempat waktu meski hanya untuk mandi.
Rencana kedua adalah, kami mandi di teras di depan kamar mandi, tempat biasa orang mencuci baju. Meski banyak orang mencuci baju, tapi setidaknya tidak sepanjang antrean kamar mandi. Konsekuensinya, kami mandi dengan menggunakan pakaian. Sebab, ini area terbuka dan siapa pun bisa melihat kami. Meski terbuka, ada sedikit sekat setinggi dada, yang terbuat dari semen, yang bisa kami gunakan saat akan mengganti baju.
Rencana ketiga, dengan terpaksa, dan kalau bisa tidak mengambil rencana ini, adalah, kami mandi di kamar mandi yang terletak di dekat tempat pelatihan membedong bayi. Kamar mandi ini cukup jarang digunakan, sebab selain membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit dari kamar kami, juga terkenal angker. Beberapa orang dikabarkan kesurupan selepas menggunakan kamar mandi ini. Memikirkannya saja aku sudah takut.
Begitu azan Isya berkumandang, aku dan Kokom segera saja tidur. Berharap bisa melancarkan rencana awal kami: bangun sedini mungkin.
“Kom, bangun,” kulirik jam dinding menunjukkan pukul 12.55 dini hari. Alhamdulillah. Meski tak ada jam weker yang membangunkan, aku berhasil juga bangun dini hari. Kokom hanya menggeliat, lalu kembali menutupi tubuhnya dengan sarung yang ia pakai sebagai selimut.