Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?

lina sellin
Chapter #10

#10 Memilih Jalan Sendiri

Hari ke-4 di Penampungan

Selain Kokom yang menjadi teman hari-hariku di penampungan, aku memilih sisa waktuku untuk jalan sendiri. Bukan karena aku tak mampu mendapatkan teman curhat atau setidaknya teman ngobrol tentang kerasnya kehidupan seusai bangku sekolah. Tapi, itu kulakukan karena aku memang tak nyaman hidup bergerombol, apalagi bila disertai dengan obrolan yang amburadul. Entah mungkin aku yang belum bisa menikmati gaya hidup manusia dewasa seperti mereka atau aku yang terlalu dini nyemplung di dunia orang dewasa. Yang jelas, kuperhatikan semua orang dewasa di sini melakukan hal yang sama: bergosip, ngerumpi, dan sebagian yang lain makan di kantin yang hanya tersedia satu buah di penampungan ini sambil tertawa cekikikan. Entah apa yang mereka obrolkan.

“Yu, jajan bakso, yuk!” ajak Kokom sembari menenteng tas jinjing kecilnya. “Kutraktir, deh,” lanjutnya ketika melihat aku hanya menengok ke arahnya sekilas.

Bluk. Kokom menutup paksa novel Dunia Shopie yang tengah asyik aku baca di pojokan kamar. “Ayolah, aku bosen di kamar mulu,” Kokom memberi alasan.

Sejak hari pertama kami tiba di penampungan sampai hari ini, aku memang tak pernah pergi ke mana pun, selain pindah dari satu ruangan pelatihan ke ruangan pelatihan lainnya. Atau pergi dari satu kamar mandi ke kamar mandi lainnya. Atau, olahraga dan piket bersih-bersih di halaman penampungan. Sebab aktivitas itu saja amat sangat menyita waktuku. Rasanya seluruh energiku terkuras habis dibuatnya. Maka, tidak ada kamus untuk keluar dari aktivitas harianku yang itu-itu saja. Lakukan sekadar untuk membayar kewajibanku saja, pikirku. Dan, Kokom selalu membuntut. Apa saja yang kulakukan, dia ikut. Tak pernah sekali pun dia berinisiatif mengajakku untuk melakukan apa pun. Maka, aku pun mengabulkan permintaannya, dan hanya butuh beberapa langkah kaki, kami sudah sampai di kantin.

Aku memesan bakso beserta jeruk peras hangat kesukaanku, sementara Kokom memesan nasi uduk beserta aneka macam gorengan dan teh hangat.

“Semuanya seratus tujuh puluh lima ribu,” jelas si pengantar makanan sambil menyodorkan nota tagihan saat pesanan kami selesai dibuat dan diantarkan ke meja sederhana yang ada di kantin tempat kami duduk.

“Hah? Berapa?” tanyaku heran dengan suara tinggi sambil melihat dengan jelas sekali lagi angka yang tertera di nota tagihan itu. Gila aja, masa bakso doang sama nasi harganya sebegitu mahalnya, gerutuku dalam hati.

Lihat selengkapnya