Hanya karena Aku Wanita: Tak Berhakkah Aku Punya Cita-Cita?

lina sellin
Chapter #12

#12 Tanpa Rasa

Hari ke-6 di Penampungan

Ini adalah hari keenam aku tinggal di penampungan. Aku makin merasa betah. Selain karena sudah tahu celah hidup di penampungan—bangun lebih awal, bersikap ramah kepada semua orang agar tidak dicurigai memihak kubu tertentu, sebisa mungkin menghindar dari ngerumpi karena kegiatan ini hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari, dan ringan tangan, senang membantu siapa saja yang membutuhkan, agar suatu hari ketika aku butuh bantuan mereka pun akan senang membantu—aku juga makin menerima kenyataan bahwa saat ini aku adalah calon pembantu. Aku bukan lagi Ayu yang cerdas dan penuh gairah hidup. Aku adalah manusia malang yang akhirnya mengangkat bendera putih karena merasa kalah pada kehidupan.

Aku makin tahu takdirku ke depan. Aku tahu bahwa hidup meski pahit harus tetap dijalani. Aku tahu bahwa semua senandung keindahan hidup hadir hanya sebagai hiburan. Tidak akan selamanya. Gegap gempita, sorak-sorai saat aku menerima penghargaan dari sekolah sudah tidak akan aku terima lagi. Juga tepuk tangan riuh dari kawan kerabat dan guru.

Aku menggigiti kukuku yang makin panjang sembari menyimak apa yang disampaikan si pelatih. Sekarang aku memang sedang berada di ruang pelatihan bersama teman-teman yang lain, untuk mengikuti pelatihan memakaikan popok pada bayi.

Beberapa boneka dijejer di atas meja. Kain panjang direntangkan di bawah para boneka itu, lalu sehelai popok dibagikan kepada kami, agar kami langsung melakukan praktik.

“Popoknya ditaruh di bawah bokong bayi. Persis seperti ini, Ibu-Ibu,” ujar sang pelatih. “Hati-hati, jangan sampai popoknya kotor. Cuci tangan terlebih dulu, lalu ambil popoknya,” lanjut sang pelatih.

Alih-alih menyimak dengan baik, aku justru merasa jenuh bukan kepalang. Kokom kali ini tidak satu ruangan denganku. Dia diminta masuk ke kelas cuci baju, sementara aku masuk di kelas ini. Kami, calon pembantu, memang tidak diberi kemerdekaan apa pun untuk memilih ke kelas mana hendak belajar dan berlatih. Semuanya nyaris sudah dipilihkan. Bahkan untuk sekadar menu makan saja, kami tak punya hak memilih. Maka tak jarang, para eks-Saudi, orang yang sebelumnya pernah bekerja di Saudi, yang pasti berlimpah uang, lebih memilih untuk makan di kantin, dengan tentu merogoh kocek yang sangat dalam. Sementara orang seperti kami, sungguh tak ada pilihan.

Lihat selengkapnya