Hari ke-7 di Penampungan
Aku kembali menyesali keputusanku untuk melangkahkan kaki ke penampungan ini. Aku menyesal, mengapa begitu mudah memutuskan, tanpa kupikir matang segala konsekuensinya. Bakal dihina. Bakal diteriaki. Bakal diinjak harga diriku. Tapi, kenapa aku diam saja? Kenapa aku tak membantah saat mereka melakukan semua itu? Apakah aku setakut itu menghadapi mereka? Di mana Ayu yang dulu pemberani? Di mana Ayu yang dulu selalu maju ke hadapan kelas, lalu mendapat sorak-sorai tepuk tangan karena keberhasilanku memecahkan sederet soal matematika dan fisika? Di mana Ayu yang dulu?
Aku menghela napas panjang, sembari mengusap mutiara kecil dari mataku. Berusaha menutupi segala penyesalanku begitu Kokom mendekatiku. Malu rasanya kalau yang selama ini rajin menasihatinya untuk kuat dan tegar selama di penampungan malah justru terlihat menangis.
“Yu, sira (kamu), belum dapat kabar tah kalau katanya malam ini bakal ada pengumuman siapa-siapa aja yang terbang?”
“Belum,” jawabku singkat, sembari membolak-balik Dunia Shopie-ku.
Bluk. Kokom menutup bukuku. “Kalau ada orang ngomong itu dilihat. Pake mata. Jangan ditutupin buku,” cerocos Kokom, seperti bunyi petasan pada malam takbiran di musala kampungku.
“Apaan sih, Kom,” jawabku dengan suara tinggi, sembari ngacir meninggalkan Kokom. Aku tersulut emosi. Pikirku, belum juga masalah kemarin usai, kini Kokom malah nambah-nambahin. Dia seperti tak tahu diri untuk membangunkan macan tidur di dalam diriku yang belum tuntas.
Kokom terlihat bengong. Salah tingkah. Hendak mengejar membuntutiku, tetapi akhirnya dia berhenti lalu mematung sembari memperhatikan langkahku. Itu kulihat dari spion besar yang ada di halaman penampungan, tempat berlalu lalangnya kendaraan PT.
Aku lalu pergi menuju kamar Kenanga. Pemandangan seperti biasa terlihat. Ada yang sedang mengaji. Sedang menangis. Sedang ngerumpi. Dan terdengar suara yang sama pula: suara mengaji, suara tangis, suara tawa, dan suara teriak.
Tapi, rasa-rasanya aku seperti ingin meledak. Rasanya tidak ada yang peduli dengan hidupku. Tidak ada yang peduli dengan perasaanku. Semua orang tampaknya tak melihat luka di dalam hatiku. Tak juga berusaha bertanya akan lukaku. Semua orang, tampak sibuk menghabiskan waktunya masing-masing.
“Bu Sri Rahayu,” tiba-tiba terdengar suara memanggilku dari balik pintu.
“Iya, saya,” jawabku singkat.
“Sini, Bu,” panggil Bu Rima.