Aku turun dari mobil. Tampak di depanku sebuah rumah dengan dinding setinggi melebihi atap rumah mengelilinginya. Sebuah pintu gerbang sepanjang sekitar dua meter mendadak terbuka saat majikanku memencet tombol angka yang ada di samping pintu. Aku pun membuntutinya memasuki area sebuah rumah yang lebih mirip istana. Tak jauh dari pintu masuk, kudapati sebuah kolam dengan air mancur—yang membuat suasana terlihat segar. Pohon kurma berjejer rapi di hampir seluruh area taman, di kanan-kiri rumah, dengan bebungaan di tengah-tengahnya. Berbagai tiang lampu besar pun tampak bukan kaleng-kaleng berjejer di sepanjang area rumah.
“Babaaaa,” Ayaaah, terdengar suara bersahutan dari arah pintu utama. Terlihat dua bocah laki-laki menghambur berlarian, lalu terdengar bluuukkk. Mereka memeluk majikanku.
“Hala ya Baba,” Hallo anak Ayah, majikanku menimpali sembari membaui keduanya.
Kedua anak yang kira-kira berusia enam dan tiga tahun itu kemudian memperhatikanku dengan saksama, sembari melangkahkan kakinya bersama kami menuju pintu utama rumah, seolah dia tahu bahwa akulah yang sedang mereka tunggu.
Tampak dari jauh aku melihat seorang wanita bertubuh tinggi besar, berhidung mancung, berambut panjang berwarna pirang, dengan polesan make up sederhana, dan berbaju gamis putih bunga-bunga sedang berdiri di depan pintu utama. Juga ada dua anak perempuan, berusia sekitar sembilan dan sebelas tahun, ikut berdiri di sampingnya.