Empat puluh lima menit aku berada di dalam mobil suv mewah berwarna putih bersama majikanku serta keempat anaknya. Aku duduk di kursi belakang, anak-anak di tengah, sementara majikan di kursi paling depan.
Bersamaan azan Magrib berkumandang, sampailah aku di sebuah perkebunan bertuliskan Ahmad al-Fawwaz di pintu gerbangnya.
Mobil yang kutumpangi pun segera memasuki area perkebunan lalu berhenti. Anak-anak berhamburan keluar mobil, lalu berlarian menemui serombongan anak-anak lainnya yang sudah sampai lebih dulu.
Aku turun dan diam mematung di samping mobil sembari melihat dan memperhatikan sekitar. Tak lama kemudian, majikan perempuan pun turun lalu mengajakku untuk mengikuti langkahnya melalui bahasa isyarat.
Dari jauh tampak lampu berpendar kelap kelip seolah menyambut semua tamu yang datang. Makin dekat, aku menyadari bahwa bukan hanya rombongan mobilku yang tiba di sana. Gelaran karpet yang terpasang lebar sudah terisi banyak orang. Kuhitung cepat, sekitar dua puluh orang, tak termasuk anak-anak.
Kami pun akhirnya sampai di tengah-tengah mereka. Majikanku sibuk berpeluk dan bercipika-cipiki dengan orang-orang di sana seraya saling membalas sapaannya. Sementara aku berdiri mematung di samping tiang listrik besar seukuran pohon jati berumur puluhan tahun sembari memperhatikan ramai dan hangatnya keluarga besar ini.
Majikan perempuan mendekatiku dan berkata, “Roy, suuuf baby,” Roy, lihat anak-anak, perintahnya sambil tangannya mengarah pada anak-anak.
Aku pun mengangguk, tanda mengerti, lalu berjalan cepat mengejar anak-anak yang masih berlarian bersama anak-anak yang lain. Ini perintah agar aku mengawasi anak-anak bermain.
“Roooy, ta’ali ... ta’ali,” Roy, kemari … kemari …, tiba-tiba Rahaf dan Riyuf menarik-narik lenganku, mengajakku untuk ikut bermain dengan mereka, lalu disambut gelak tawa anak-anak yang lain, termasuk Abudi dan Muad.