Beberapa hari pun berlalu. Aku seolah terseok-seok mengikuti alur kehidupan yang baru. Bersih-bersih rumah dengan 13 kamar, yang kesemuanya memiliki kamar mandi di dalamnya, dan 5 ruang tamu, yang berbeda untuk tamu laki-laki yang disebut majlis rijjal dan untuk tamu perempuan yang disebut majlis harim.
Belum lagi saat aku diminta mengurus keempat anak majikan. Yang satu teriak minta diambilkan makan, yang satu minta kaus kaki, yang satu minta ditemani main, dan yang satu pup di celana. Sungguh rasanya aku ingin menjerit menghadapi kondisi ini. Aku anak bontot dari sebelas bersaudara. Jadi, aku tak tahu bagaimana caranya menghadapi anak-anak.
“Rey, bangun, sudah jam tiga,” sayup-sayup kudengar suara Bu Fatmah membangunkanku.
Aku pun terkesiap dan mengucek mataku pelan. “Iya, Bu Fat,” jawabku singkat.
“Aku turun duluan, njih,” Bu Fatmah melanjutkan, sembari melepas mukenanya.
“Ok,” jawabku seakan masih di alam mimpi.
Sekejap Bu Fatmah sudah tak ada di tempatnya. Aku pun kemudian berdiri sempoyongan. Kupaksakan kakiku segera menginjak bumi, meski rasanya baru saja aku tertidur. Semalam orangtua majikanku, Mama Salihah, memang menggelar al-‘asya bersama para tamu yang entah datang dari mana itu pukul dua belas. Setelah itu tentu saja kami, aku dan Bu Fatmah, harus mencuci segala macam bekas makan malam, termasuk mencuci lantai seluruh area dapur, dan baru bisa naik ke kamar untuk istirahat kurang lebih pukul dua pagi.
Lalu sekarang, kami sudah harus kerja lagi? Huft, pantas saja badan Bu Fatmah kurus begini, gerutuku dalam hati.
Aku kemudian menuju kamar mandi, membersihkan mukaku, lalu mengganti baju. Kulihat di cermin, mukaku kini makin tak karuan. Pipiku yang tadinya bak bapkau, hanya dalam hitungan hari di sini sudah kempes bak balon yang baru saja meletus. Kendur. Belum lagi dengan jerawatku yang bertebaran di mana-mana seperti bintang di langit yang tak terhitung jumlahnya.
“Reeey,” kudengar suara Bu Fatmah memanggil sembari mengetuk pintu kamar mandi.