“Ya Roy, jibili tsalj,” Roy, ambilkan es batu, teriak majikan laki-laki dari ruang makan, sementara aku tengah berada di dapur. Jarak antara ruang makan dan dapur menurutku cukup jauh, sekitar dua meter. Di sela-sela antara dapur dan ruang makan terdapat banyak aksesoris. Dari mulai rak panjang berisi buku, pajangan peralatan dapur seperti wajan, piring, mangkuk, gelas, cangkir, dan sebagainya. Juga terdapat sofa duduk panjang beserta meja sebagai sekat di antara dua ruangan itu.
“Na'am, thoyyib,” Ya, baik, aku menyahut sembari mendekat tergopoh-gopoh ke ruang makan.
“Jibili tsalj,” Ambilkan es batu, ucap majikan laki-laki mengulangi.
Aku bengong. Sedang meraba-raba apa yang dimaksud majikan.
“Tsalj?” Tanyaku polos.
“Aiwah, tsalj,” Ya, es batu, suara majikan terdengar sedikit meninggi.
Aku pun pergi meninggalkan ruang makan lalu menuju dapur. Terpikir olehku untuk segera mencari Bu Fatmah dan bertanya apa arti tsalj. Namun, belum sempat aku meninggalkan dapur, majikan laki-laki kembali berteriak, “Ya Roy, ayna tsalj?!”
Mendengar teriakan itu, bulu kudukku berdiri. Jantungku nyaris copot, dagdigdug tak karuan karena takut yang begitu kuat. Seumur-umur baru kali ini aku diteriaki seseorang, dan itu oleh orang yang belum lama kukenal. Kakiku pun berlari cepat, tanpa berpikir panjang. Kuambil sebuah cabai merah ke lemari kulkas, mencucinya, lalu membawakannya ke hadapan majikan laki-laki. Kupikir, mungkin teman untuk makan adalah cabai, seperti lalapan saat di kampungku dulu.
“Wusyu hadza?” Apa ini? Tanyanya dengan pelan, namun matanya melotot seperti mau copot sembari mengambil cabai dari tanganku.
“Hadza ...,” Ini … suaraku mulai bergetar. Tak mampu melanjutkan.