22
Sobekan Surat di Tong Sampah
Ibuku adalah seorang pekerja keras. Apa pun akan dia lakukan agar kami, kesebelas anaknya bisa makan dan sekolah. Kadang menjual gorengan, menjual kerupuk keliling, menjual kue samir, menjadi buruh cuci baju, dan ya, kerjaan apa pun asal menghasilkan uang dengan cara halal.
Sayangnya, bapakku tak bisa banyak membantu. Dulu, sewaktu aku kecil, Bapak masih bekerja sebagai pamong desa, dengan bayaran per periode jabatan dengan gaji tanah bengkok—tanah milik desa yang hanya boleh dipakai, digunakan, tapi tak bisa dimiliki. Bapak terlalu jujur. Dia tak bisa menoleransi siapa pun yang tak jujur, termasuk Pak Kades yang menjabat kala itu. Bapak selalu memprotes kebijakan desa yang tak memihak rakyat. Tak mau ambil uang sepeser pun yang bukan haknya. Bahkan sekadar urusan makanan yang diberikan pihak desa padanya, ia tak akan terima sebelum jelas asal makanan itu dari mana. Kalau halal, dia mau ambil. Kalau ia rasa masih samar-samar, maka jangan harap mau terima, bahkan tak segan-segan ia akan mendebat tentang asal-mula barang itu. Maka, kami, sebagai anaknya, tak jarang merasa kelaparan. Bapak selalu bilang, “Mending kelaparan di dunia daripada nanti kelaparan di neraka!” Bapakku awam dalam beragama, tapi ia ingin semua anaknya paham agama. Maka, semua anaknya ia masukkan ke pesantren, termasuk aku sewaktu sekolah menengah, meski sering kali kami kelaparan karena tak dikirimi uang jatah bulanan.
“Gak penting sekolah umum. Yang penting anak Bapak paham agama, ben dadi wong bener,” begitu ucap Bapak, selalu, saat aku berusaha memprotes. Maka, saat aku mengajukan diri untuk melanjutkan sekolah menengah, Bapak menolak, dengan alasan tidak penting sekolah umum. Semua anaknya menurut, karena itu semua kakakku hanya berhasil duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan ada pula yang tak sekolah. Beruntung hanya aku yang bisa lanjut sekolah. Itu pun karena Ibu selalu menengahi Bapak pada saat Bapak marah karena keinginanku itu. “Ya sudah, Bapak setuju kamu masuk sekolah lanjutan, asal tinggalnya di pesantren,” begitu kemudian Bapak memutuskan. Aku pun mengangguk, ya sudah, urusan biaya mungkin bisa kupikir nanti. Yang penting sekarang Bapak sudah setuju dengan harapanku. Sementara Ibu justru malah kebalikan Bapak. Ia 100% mendukungku untuk terus sekolah, dan tak melulu soal agama. Toh Ibu melihat, semua anaknya yang sudah dimasukkan ke pesantren tak jadi apa-apa. Tak punya keahlian apa pun, dan hanya menjadi beban tambahan bagi orangtua karena setelah keluar dari pesantren malah jadi penganggur, tetapi memaksakan diri untuk menikah, punya anak, lalu bekerja serabutan. Kang Muh jadi buruh tani. Kang Ahmad jadi kuli bangunan. Kang Pat jadi pembantu. Kang Naimah jadi buruh cuci setrika. Beruntung Kang Rois jadi guru mengaji dengan bayaran seikhlasnya. Tapi sisanya, Kang Rokim, Kang Rahman, Kang Nur, Kang Rido, dan Kang Umar masih menganggur.
Kini Bapak juga menganggur. Bukan karena tak mau bekerja, tapi memang kondisinya yang tak memungkinkan. Sejak tak bekerja jadi pamong desa karena emoh bersepakat untuk korupsi dana desa, Bapak memang memilih bekerja serabutan. Yang penting halal, begitu selalu yang Bapak katakan tiap aku bertanya, kenapa mau jadi buruh. Dan karena bekerja serabutan itulah, Bapak mulai berkawan akrab dengan cangkul dan parang. Bapak kadang diminta membajak sawah orang, membersihkan perkebunan orang, dan juga kuli dorong gerobak untuk membawa bahan bangunan dari toko menuju rumah warga. Sepuluh tahun yang lalu, kaki Bapak terkena sabetan cangkulnya sendiri saat mencangkul sawah garapan miliknya. Alhasil, kakinya menjadi lumpuh, dan tak bisa lagi ke mana-mana. Makin bertambahlah beban Ibu.
Bapak tidak hanya mewariskan kemiskinan, tapi juga kebodohan. Aku menghela napas panjang, dan seperti ada amarah yang belum tuntas kusampaikan pada Bapak. Mendadak hatiku merasa sakit mendapati riyalitas ini.