28
Sekilas Senyum Pembawa Petaka
Di kampungku, melempar senyum antar-orang yang dikenal itu biasa. Antara aku dan Pak Rido, tetangga sebelah kanan rumahku. Juga antara aku dan Bu Ayumi, tetangga kiriku. Laki dan perempuan, menyapa dengan senyum itu biasa, asal saling kenal. Tapi di Arab, senyum bisa berakibat petaka.
Contohnya, saat aku menyapa sesama pembantu sebelah rumah majikan dengan senyum saat kami tak sengaja bertemu muka di depan rumah saat membuang sampah, dan itu terlihat majikan laki-laki, maka seketika itu pula aku dilarang membuang sampah. Dan tugas itu diserahkan sepenuhnya pada Bu Fatmah. Kata Bu Fatmah, obrolan seringan apa pun atau senyum kepada orang di luar rumah majikan akan dicurigai macam-macam. Maka, kata Bu Fatmah, sebaiknya jangan senyum atau berbicara pada siapa pun orang di luar rumah majikan.
Sayangnya, nasihat Bu Fatmah itu tidak begitu kupedulikan sampai hari itu tiba. Hari di mana seringai senyum dan obrolan pendek menjadi sebuah petaka bagiku. Ini terjadi saat suatu ketika majikan laki-laki mengetuk pintu rumah, dan karena Bu Fatmah sedang sibuk memasak di dapur, maka akulah yang membuka pintu itu. Majikan laki-laki menyapaku dengan senyuman, dan berkata, “Hala ya Roy, kayfal hal?” Halo, Roy. Apa kabar?