Anak-anak majikan sudah kuanggap seperti adik-adikku sendiri. Entah mungkin karena aku anak bontot dan karenanya tidak punya adik, sehingga kehadiran mereka seperti semacam mengisi kepingan puzzle harapanku yang hilang, atau mungkin karena di sini aku butuh penghiburan, dan mereka adalah satu-satunya penghiburan yang dapat aku nikmati di sela-sela menumpuknya beban di batinku.
Mereka, ya, layaknya anak-anak seperti pada umumnya. Kadang menyenangkan, membuat aku tertawa karena tingkah polahnya yang lucu, dan kadang pula, bahkan sering, membuatku kesal dan aku kelimpungan menghadapi sikap mereka yang suka mengadu—hal sekecil apa pun, usil, berebut mainan dan makanan antar adik-kakak, pup-pipis di celana, atau bahkan mengambil jatah makanku.
Tapi, yang lebih sering membuat kesal sebenarnya adalah saat mereka memaksaku untuk ikut turun ke hoosy (halaman rumah) dan bermain dengan mereka. Sebab, ada banyak kejutan tak menyenangkan—menyakitkan—yang kadang aku terima saat kami usai bermain. Mainan apa saja. Kadang kejar-kejaran, petak umpet, gendong ke atas punggungku, dan ya, main bola! Seperti malam ini. Pukul 11 malam.
“Roooy, yallah il'ab ma'ana,” Roy, ayo main bersama kami, ajak Abudi saat aku sedang menyiapkan menu al-‘asya bersama Bu Fatmah di dapur.
“La, la, la. Ba'dain Mama za'lan alaih. Ana sawwi al-'asya ma'a Fatmah,” Jangan, jangan, jangan. Nanti Mama marah kepadaku. Aku lagi bikin makan malam bersama Fatmah, jawabku menjelaskan bahwa aku sedang sibuk menyiapkan menu makan malam, dan Madam pasti akan marah kalau aku tidak bekerja.
“Ya Yemmah, sufi Roy, ma tabgho il'ab ma'ana,” Lihat tuh, Mah, Roy gak mau main sama aku, Abudi mengadu bahwa aku tak mau bermain dengannya.
Kulihat majikan perempuan masih asyik memainkan HP-nya di depan TV yang terletak di ruang keluarga.