Hidup tak selalu memberi apa yang kita inginkan. Bahkan hidup, kadang mencemooh kita melalui apa-apa yang kita pilih. Seperti malam ini. Aku terus saja dihantui oleh pilihanku yang salah. Kupikir, pergi bekerja ke Arab Saudi adalah solusi. Namun, pilihanku ternyata salah. Di sini tak lain hanyalah sejenis langkah untuk bunuh diri, alih-alih bisa mendapatkan apa yang kumau: kuliah.
Di surat perjanjian tertulis bahwa aku akan mendapatkan gaji setiap bulan, tapi kenyataannya sepeser pun tidak kuterima. Di surat perjanjian tertulis bahwa Sabtu-Minggu adalah dua hari libur yang wajib diberikan kafil (majikan) kepada pembantu. Tapi, juga tidak kuterima. Dan, di surat perjanjian juga tertulis bahwa kafil wajib memfasilitasi pembantu untuk berkomunikasi dengan pihak keluarga. Nyatanya, suratku pun kutemukan di tong sampah. Belum lagi perlakuan majikan yang membuatku seperti mau meledak setiap harinya! Lalu, apa lagi yang perlu kupertahankan, dan kukhawatirkan?
Maka, kuputuskan untuk segera bisa keluar dari rumah mewah ini. Tapi, kapan? Dan, ke mana tujuanku?
Ah, kuserahkan saja jawaban itu kepada Alam. Biarkan ia yang membawaku ke mana langkah kaki ini hendak menuju. Sama seperti Alam membawaku ke tempat nun jauh ini. Dan, mungkin sama, ke mana Alam kelak harus membawaku kembali. Bisa ke rumah di kampungku. Atau mungkin menemui Sang Pencipta. Aku sungguh tak peduli. Saat ini, detik ini, yang kupikirkan hanyalah satu: bagaimana caranya aku bisa keluar dari sangkar ini.
Berhari-hari aku terus mencari waktu yang tepat. Kondisi yang tepat, di mana kepergianku tak diketahui siapa pun, termasuk Bu Fatmah.
Maka, siang itu, saat matahari tepat berada di atas kepala, selepas keluarga majikan menggelar makan siang sekitar pukul 2, adalah waktu yang tepat bagiku untuk meninggalkan rumah ini.
Kulihat majikanku pergi ke kamar untuk tidur siang, persis setelah selesai makan siang. Sementara anak-anak diserahkan sepenuhnya padaku. Pun Bu Fatmah, sibuk di dapur mencuci peralatan bekas makan.
Rahaf dan Riyuf sedang asyik bermain rumah-rumahan di kamar mereka. Sementara Abudi sedang menatap layar monitor bermain game di ruang keluarga. Hanya Muad, yang waktu itu sedang kugendong. Maka, aku menciuminya. Pamit padanya, bahwa aku akan pergi. Muad, yang masih tiga tahun itu, hanya melihatku lalu membalas ciumanku. Mungkin dia belum paham betul apa makna “pergi”.