Siang itu aku berhasil kabur dari rumah majikan. Alih-alih merasa senang karena sudah terbebas dari belenggu yang selama ini kupikul, aku justru merasa seperti ada beban yang lebih besar dari masa lalu. Sebuah beban yang kurasa lebih berat dari semua bebanku pada masa lalu.
Betapa tidak, hamparan pasir yang begitu luas membentang sejauh mata memandang, dengan batu-batu besar menghiasi di atasnya itu seolah hendak menelanku mentah-mentah bersama panasnya terik mentari siang itu. Ya, aku seperti terpanggang matahari seketika. Tubuhku yang hanya dibalut kain gamis kucel langsung saja dibasahi keringat yang mengucur deras.
Kupendarkan mataku ke kanan dan ke kiri. Berharap ada seseorang, atau mungkin suatu ilham dari Tuhan yang bisa menolongku. Namun, ini Saudi. Seluruh tempat tampak sepi. Tidak ada orang berlalu lalang berjalan kaki seperti halnya di kampungku.
Di Saudi, tepatnya di Skaka, ibu kota Provinsi Al-Jouf, tempat majikanku tinggal, yang kaya akan barang antik dan monumen arkeologi itu, jalan kaki merupakan suatu pemandangan yang langka. Maka, tak aneh bila kota yang mengagungkan kemajuan, kemewahan, dan kemegahan itu, tak kudapati seorang pun yang berjalan kaki di sekitar aku berdiri di hamparan pasir ini.
Maka, aku pun memilih untuk rehat sejenak setelah berjalan kaki sekitar dua jam lamanya. Duduk beralaskan pasir, beratapkan langit, dan bersandar di salah satu batu besar yang menghiasi hamparan pasir.
Di sini, tak ada seorang pun yang bisa kumintai tolong. Tak ada yang kukenal. Tak ada bekal dari penampungan tempatku mendapatkan segala pelatihan untuk menghubungi seseorang atau siapa pun saat kondisi seperti ini. Tak ada nomor telepon, tak ada alamat yang mesti aku tuju.
Mendadak aku menyesali keputusanku untuk keluar dari rumah majikan. Dan sedetik kemudian, terbayang rumahku. Kampungku. Teman-temanku. Keluargaku. Bapak. Dan ya, Ibu. Berat rasanya aku menanggung rindu pada mereka, dan sekarang aku harus menanggung beban atas keputusanku yang bodoh murokkab (bodoh berlipat-lipat) kali ini. Sebab aku tahu, tindakanku ini kian makin menjauhkanku dari kata sukses. Jauh dari kata berhasil. Jauh dari tercapainya mimpiku.
Allahu akbar .... Allahu akbar. Sayup-sayup kudengar suara azan Magrib dari masjid yang tak jauh dari tempatku duduk. Ingin rasanya aku pergi ke masjid itu. Namun, lagi-lagi kutahu bahwa ini Saudi, bukan Indonesia. Di mana kehadiran perempuan di masjid merupakan suatu hal yang mesti dihindari, kalau tidak ingin menjadi sasaran kaum berpakain thob (gamis khusus yang biasa dipakai laki-laki Saudi). Maka, aku pun memilih untuk diam di tempatku sembari merogoh tasku untuk mengambil segelas air mineral yang kubawa dari rumah majikan untuk kupakai wudu. Namun, belum juga tanganku berhasil meraih apa yang kuinginkan, terdengar lolongan anjing bersahutan. Mendadak aku yang sedari tadi begitu berani, kini nyaliku menjadi ciut. Kegelapan malam mulai datang, dan aku sepertinya tak kuasa bila harus menghadapi serangan anjing-anjing liar. Maka, kuputuskan untuk mendatangi sebuah rumah yang terlihat oleh mataku. Satu-satunya rumah yang paling mencolok di antara beberapa rumah tenda milik orang-orang Badui (orang-orang yang hidup dan tinggal di padang pasir dengan rumah tenda. Biasanya pekerjaan utama mereka adalah bertani dan berburu).
Tingtong. Kupencet tombol bel rumah yang terletak di samping bawwabah. Namun, tak ada yang menyahut. Kupencet lagi, hinga tiga kali, barulah terdengar suara dari sebuah alat yang menempel di bawwabah. Persis seperti aku sedang mendengarkan radio.
“Min?” Siapa? tanya seorang laki-laki dari dalam alat itu.