Sejak malam itu, aku melihat ada sesuatu di dalam diriku yang telah berubah. Ada benih ajaib yang disemaikan seorang nenek tak kukenal ke dalam diriku, ke dalam jiwaku, dan aku tak lagi bisa merasa pasrah. Aku harus berubah. Menjadi sesuatu. Menjadi seseorang. Menjadi manusia seutuhnya—yang bukan hanya berharap pada terkabulnya mimpi atau sekadar cita-cita. Tapi lebih dari itu. Aku harus menjadi manusia yang berani mengatakan apa yang mengusik nurani. Dan gajiku, uang yang menjadi hakku, bukan lagi tujuan utamaku ada di sini. Sebab yang terpenting adalah jiwaku. Kewarasan akal berpikirku. Maka, aku harus menolak apa yang tidak sesuai dengan nurani. Sebab, kalau tidak segera berubah, bukan hanya tubuhku yang mati karena kelelahan, tapi juga jiwaku.
Maksudku, yah, kebaikan itu tak mengenal batas. Aku harus merobohkan tembok yang membatasi antara aku, syaghalah (pembantu), dan kafil (majikan). Karena aku dan mereka sama-sama manusia, hatiku membatin saat tengah diinterogasi pihak kepolisian.
“Min inti?” Siapa kamu? Tanya seorang berseragam polisi di depan monitor sembari mengetik sesuatu, sementara aku duduk di depannya.
“Ana Roy,” Aku Roy, jawabku pendek.
“Ismik!” Sebutkan namamu! Bentaknya.
“Na'am, Roy,” jawabku takut sembari meraba-raba akan maksud pertanyaan sang polisi.
“La, la, la,” lanjut pria berseragam lengkap itu. “Ismuki kaamilah,” lanjutnya seperti mengeja huruf kaaf-mim-lam- (kaa-mi-lah). Bukan, bukan, bukan. Maksudku, nama lengkapmu.
“Sri Rahayu.”