34
Lolos dari Cengkeraman Serigala
Kulihat bintang bertaburan pada langit gelap saat mataku baru saja terbuka dari pingsan. Sayup-sayup terdengar azan Isya dari masjid yang ada di belakang rumah majikan.
Hayya alalfalah ...
Hayya alalfalah ...
Air mataku menetes deras tanpa kuperintah. Seketika ingatanku akan Bapak begitu nyata. Terbayang saat Bapak rela hujan-hujanan menggendongku untuk pergi ke sekolah pada suatu pagi di musim hujan tanpa payung. Sementara aku, ditutupinya kepalaku dengan kantong kresek yang ia pungut dari jalanan. Juga saat aku ingin sekali membeli layang-layang seperti halnya teman-temanku. Alih-alih Bapak marah karena permintaanku itu, Bapak justru mengajakku untuk mengejar layang-layang yang putus di angkasa. Dan bagiku, itu lebih seru dibanding hanya berdiri mematung di lapangan sambil menarik benang! Aku juga ingat saat Bapak memboncengku dengan sepeda bututnya mengikuti drumband yang mengular di jalanan dengan berdesakan. Bapak tak pernah mengeluh atas keringatnya yang mengucur saat melakukan semua itu denganku. Tapi, mengapa aku begitu membencinya hanya karena alasan Bapak tak lagi bisa bekerja? Alih-alih merasa bangga, aku justru merasa malu akan kehadirannya. “Ah, betapa bodohnya aku.” Aku merutuki diriku.
Toot toot toot. Lamunanku seketika buyar saat terdengar suara klakson mobil dari luar rumah. Sepertinya itu di depan bawwabah. Maka, aku pun menyapu air mataku yang jatuh ke pipi, lalu bergegas bangkit dan berdiri.
Kulihat rumah majikan gelap. Sepi. Tak ada satu pun lampu yang menyala. Tak ada suara anak-anak yang biasanya ramai bak pasar malam di kampungku. Hanya sorot lampu tiang listrik yang berada di jalanan depan rumah yang masuk ke sela-sela bawwabah-lah yang seketika membuat mataku silau. Di mana Bu Fatmah? Tanyaku dalam hati. Di mana anak-anak? Di mana majikan?