Saat tengah menyetrika gunungan baju, tiba-tiba sesosok pria kudapati berdiri persis di tengah-tengah pintu kamarku di Lantai 3. Aku tak menduga sama sekali kalau sosok berpakaian thob putih itu adalah majikan laki-laki. Karena memang tak ada suara yang kudengar saat itu selain suara batinku yang meledak-ledak bak bom yang siap meluluhlantakkan Nagasaki dan Heroshima.
“Roy, aasif,” Roy, maafkan aku, suara majikan bergetar.
Brukbrukbruk. Suara anak-anak terdengar berebut menaiki tangga, lalu sedetik kemudian ikut berdiri di samping majikan laki-lakiku.
“Inzil,” Turun, perintah majikan kepada anak-anaknya.
Tapi, anak-anak masih cengengesan, saling mendorong di antara mereka. “Inzil!” Turun! Teriak majikan kepada anak-anak itu dengan wajah memerah.
Mendengar suara ayahnya meninggi, mereka pun segera berlarian berebut turun.
Aku hanya melihatnya sekilas, lalu kembali mengambil kaus pendek bergambar harimau kesukaan Muad dan menyetrikanya.
“Idza tabgho irja’ ila Indunisi, tafaddol,” Kalau kamu mau pulang ke Indonesia, silakan, lanjut majikan sambil mengusap kucuran keringat di keningnya yang basah kuyup karena kamarku persis di depan rooftoof, yang langsung terpapar panasnya mentari. “Lakin indza anti ijlis huna ma’a baby, ana asykur lillah,” Tapi kalau mau tetap tinggal di sini, saya mengucap syukur kepada Allah, lanjut majikan laki-laki begitu melihat aku diam, tak bersuara sepatah kata pun.
Aku masih diam. Bingung mau berkata apa. Di sini hidupku memang tidak baik-baik saja. Bahkan buruk. Tapi kalaupun aku pulang ke kampung, mungkin akan jauh lebih tidak baik-baik saja. Bahkan mungkin aku akan menanggung jutaan malu, dan bahkan rutukan dari orang-orang sekitar. Dari keluargaku. Dari teman-temanku. Dari guru-guruku. Dan lagi, mimpiku untuk kuliah akan hangus begitu saja.
Lagi pula, aku di sini untuk mencari uang. Uangnya kugunakan untuk kuliah. Untuk belajar. Menuntut ilmu. Dan dulu waktu di pondok, aku pernah mendengar bahwa ganjaran orang yang menuntut ilmu adalah surga. Dan kalau mati saat sedang belajar menuntut ilmu, maka ganjarannya sepadan dengan mati syahid. Maka, kalaupun aku harus mati di sini, bukankah kelak aku akan dinyatakan syahid?